Bandar Lampung, BP
Kasus dugaan pencatutan nama Gubernur Lampung Arinal Djunaidi memasuki babak baru. Perkara nomor register 965/Pid.Sus/2019/PN.Tjk tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan terdakwa HF, digelar di Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, Senin (9/9/2019).
Gubernur Lampung, melalui Kuasa Hukumnya yang juga Tim Hukum Gubernur Lampung Gindha Ansori Wayka, yang mendampingi Yuhadi sebagai saksi Pelapor yang juga Ketua Golkar dan Anggota DPRD Kota Bandar Lampung menjelaskan, bahwa Gubernur telah menandatangani surat pemberian maaf terhadap pelaku pencatutan namanya melalui akun Facebook dan WhatsApp (WA).
“Pak Gubernur telah menyampaikan surat tanggal 5 September 2019 terkait pemberian maaf terhadap terdakwa yang ditujukan kepada Pengadilan melalui Ketua Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum, beliau meminta agar terdakwa dihukum seminimal mungkin,” ujar pengacara muda itu.
Gubernur, dalam kapasitasnya sebagai korban dalam pencatutan nama berupa akun facebook palsu dan WhatsApp (WA) telah memaafkan terdakwa karena alasan kemanusiaan, terdakwa juga punya tanggungjawab untuk merawat tiga anaknya yang masih kecil dan sebagai tulangpunggung keluarga, serta yang bersangkutan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya kepada Gubernur dan atau siapapun.
“Karena terdakwa punya anak kecil dan sebagai tulangpunggung keluarga, serta tidak akan mengulangi perbuatannya, maka Gubernur minta kepada Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim terhadap terdakwa, kalaupun harus disanksi maka seringan-ringannya,” tambah Yuhadi, menirukan ucapan Gubernur.
Diberitakan sebelumnya, HF mencatut nama Gubernur Lampung menjelang pelantikan Gubernur Tahun 2019 dengan cara membuat akun media sosial (medsos) berupa Facebook dan menggunakan nomor handphone dengan aplikasi WhatsApp (WA) atas nama Gubernur. Akibatnya, HF dilaporkan dengan Laporan Polisi : LP /B-749/V/2019/LPG/SPKT tanggal 30 Mei 2019.
Adapun Pasal yang dikenakan, yakni Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
Sebagaimana yang ada di dalam Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang menjelaskan bahwa “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000. (eko/rls)