Bongkar Post.
“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu . . . ,”
Bandarlampung,
Penggalan bait, syair lagu yang sangat akrab ditelinga kita hingga kini tak lekang oleh zaman. Sebuah karya master piece dari Band Legend Koes Plus dekade 80-an yang menggambarkan betapa kaya sumber daya kelautan NKRI.
Bagaimana tidak, Indonesia yang merupakan negara kepulauan hampir 100 persen berbatasan dengan negara jiran dipisahkan oleh laut. Melihat kenyataan demikian, maka sangat pantas bila kail dan jala saja sudah cukup bisa menghidupimu (rakyat).
Dengan kata lain menggunakan alat tangkap ikan kail dan jala (standar dan terukur ) ramah lingkungan sudah tentu tidak berpotensi merusak ekosistem, serta keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan biota laut. Karena ekosistem akan senantiasa terjaga sehingganya akan mempu mencukupi kehidupan rakyat hingga generasi seterusnya.
Namun bukanlah hal yang mudah mengatasi tantangan tersebut, dengan kondisi yang ada saat ini maraknya oknum yang ingin mengeruk keuntungan individu dengan memanfaatkan potensi sumber daya kelautan nusantara. Menggunakan cara-cara yang tidak benar, disadari maupun tidak mereka abaikan aturan negara dengan secara sengaja melawan hukum. Tak terpikirkan akan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan biota laut. Tentu hal ini jadi “PR” bersama stakeholder pemangku kebijakan.
Ada tidaknya tata kelola pun, sumber daya bahari tetap akan di eksplore oleh masyarakat nelayan. Sudah menjadi rahasia umum, dibanyak kasus terjadi pencurian dan penyelundupan diperairan kelautan nusantara yang dilakukan masyarakat nelayan Indonesia sendiri ataupun nelayan asing.
Tepatlah jika dibutuhkan sinergitas para pihak terkait termasuk keterlibatan akademisi untuk pengembangan budidaya BBL dengan serapan tehnologi. Dan yang tak kalah penting keterlibatan aparat penegak hukum (APH) guna pengamanan dan pengawasan dalam tata kelola sumber daya kelautan Indonesia umumnya, dan wilayah perairan laut Lampung khususnya.
Menggali Potensi BBLSebagai Tambahan PAD
Provinsi Lampung dengan luas wilayah 60.200,9 Km2; Luas perairan laut 12 mil (24.820 Km2); Luas pesisir 440.010 Ha; Panjang garis pantai 1.182 Km. Termasuk salah satu provinsi yang memiliki potensi penghasil biota laut dalam hal ini benih bening lobster (BBL). Tak tanggung-tangung, Provinsi Lampung mendapatkan kuota hampir 9 juta ekor BBL untuk tahun 2024 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 (Permen KP).
Estimasinya, dengan kuota 9 juta ekor BBL dari sektor kelautan akan memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Lampung sebesar Rp.4,5 miliyar pertahun.
Bahkan, bukan tidak mungkin potensi sumber daya bahari yang dimiliki Lampung bila tata kelolanya diatur sedemikian rupa akuntabel dan transparan, pendapatan asli daerah (PAD) ditahun-tahun berikutnya sebesar Rp.4,5 milyar akan dapat terealisasi.
Terkait hal ini, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung, Zainal Karoman, S.Pi.,M.Ling., “sat-set” gerak cepat, dengan merujuk Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2024 tentang pajak dan retribusi daerah serta menindak lanjuti Permen KP No.7 tahun 2024.
Malalui pengkajian secara cermat, Zainal pun memetakan daerah pesisir pantai Lampung yang potensial penghasil BBL. Sosialisasi ke masyarakat nelayan pesisir rutin dilakukannya sebagai langkah awal mengimplemetasikan Permen KP, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat nelayan.
“Kami selalu mensosialisasikan kepada masyarakat nelayan membangun kesadaran mereka. Kamipun selalu siap memfasilitasi masyarakat nelayan untuk memiliki izin dokumen resmi dalam melaksanakan aktivitas penangkapan BBL, karena ini memang berkaitan dengan tanggung jawab Bidang Perikanan Tangkap selaku pencacah, ”, kata Zainal beberapa waktu lalu kepada bongkarpost.co.id
Tidak berhenti hanya disitu dalam mensosialisasikan potensi dan tantangan tatakelola BBL, baru-baru ini Kabid Perikanan Tangkap DKP Lampung, Zainal, lakukan dialog interaktif di Pro 1 RRI Bandarlampung bertemakan “Menggali Potensi BBL Sebagai Tambahan PAD”, berikut petikan dialognya.
Apa yang dimaksud dengan Benih Bening Lobster dan mengapa potensi ini penting untuk diperhatikan ?
Bahwa bening lobster ini adalah implementasi daripada pemberlakuan Permen KP No.7 tahun 2024. Juga merujuk Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Jadi menggali dan mencermati semua potensi-potensi yang ada diperairan Provinsi Lampung. Salah satunya adalah benih bening lobster (BBL) kemudian ada juga potensi lain yaitu rajungan. Selama ini benih bening lobster semenjak dilakukan penutupan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), sekarang dibuka lagi oleh KKP, disitu kita melihat ada beberapa potensi dan peluang serta tantangan yang harus kita hadapi, terutama dalam rangka peningkatan pendapatan masyarkat nelayan kita. Kemudian peningkatan pendapatan Daerah (PAD). Kemudian kita bisa mengelola sumber daya ikan dalam hal ini BBL secara berkelanjutan. Sehingga kita bisa menuju, sesuai dengan program KKP yaitu “Ekonomi Biru”, itu yang salah satu (potensi).
Potensi (BBL) yang ada di Provinsi Lampung, di Pesisir Barat, Kabupaten Tanggamus, Pesawaran kemudian ada juga di Lampung Selatan.
Apa yang menjadi alasan utama Pemerintah Provinsi Lampung fokus terhadap pengembangan BBL ?
Alasan utama adalah sesuai dengan arah kebijakan KKP, BBL ini sebetulnya dapat ditangkap dengan kegunaan atau tujuan utamanya adalah budidaya. Budidaya , dalam hal ini sesuai Permen KP yang ada, baik dalam negeri maupun luar negeri. Saat ini KKP sudah lakukan MoU dengan pemerintahan Vietnam dalam hal pemanfaatan sumber daya BBL. Yang mana selama ini benih bening lobster kalau tidak dilakukan optimalisasi atau pemanfaatan, bbl tetap “lari” atau keluar dari wilayah perairan kelautan NKRI. Itulah persoalan yang utamanya.
Kalau dikelola dengan baik disitu ada potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Penerimaan PAD sesuai dengan Perda No.4 tahun 2024 tentang pajak dan retribusi daerah. Dengan diberlakukannya secara nasional oleh Pak Menteri (Permen KP), kita mulai melangkah pada bulan April tahun 2024, kemudian menindak lanjuti Permen KP tersebut kita lakukan sosialisasi kepada masyarakat (nelayan) yang ada di Pesisir Barat kemudian Tanggamus. Alhamdulillah, sekarang sudah mulai kelihatan hasilnya, masyarakat nelayan sudah memiliki izin (dokumen resmi), membentuk kelompok usaha bersama KUB, sudah mendapat kerjasama yang diberikan oleh BLU KKP dengan koperasi-koperasi yang di Provinsi Lampung.
Bagaimana Dengan Sinergitas ?
Semua sudah kita sinergikan, dengan Aparat Penegak Hukum (APH) juga sudah kita sampaikan bahwa dalam rangka pemanfaatan sumber daya ini kalau tidak dilakukan pengawasan bersama, akan mubazir juga kuota yang didapat oleh Provinsi Lampung, yakni kuota sebanyak 8.9 juta ekor bbl untuk tahun 2024.
Titik Potensial Ada Dimana Saja Untuk Provinsi Lampung ?
Potensi yang ada sekarang sedang berkembang, adalah daerah Pesisir Barat. Kalau kita lihat dari perairan tersebut memang menghubungkan samudera Hindia dengan Australia. Kemudian dari situ siklusnya, BBL ini bermigrasi ke wilayah perairan kita, mungkin alamnya cocok dan lingkungan ekosistemnya masih bagus disitu (pesibar) bbl berkembang. Kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat (nelayan) kita dengan mempergunakan cara ilegal.
Nah, sekarang kita coba lakukan pengaturan (menertibkan), pemanfaatannya juga, kemudian kontribusi nya (harus) ada terhadap pemerintah daerah.
Untuk Skala Nasional seperti apa Pesisir Barat ini ?
Sesuai dengan kebijakan tahun sebelumnya, Provinsi Lampung belum pernah melakukan kebijakan tersebut sehingga kita tidak punya data terukur. Dan, baru satu bulan terakhir ini kurang lebih tahun 2024 Provinsi Lampung sudah menerbitkan Surat Keterangan Asal (SKA) sebanyak 17 SKA, dengan penyerapan benur bbl sekitar 2,79 persen ( dari 8.9 juta kuota ), 107 ribu retribusi daerah yang sudah disetorkan oleh kelompok kepada Kas Daerah Lampung.
Apa Tantantangan Dalam Tata Kelola BBL?
“(pertama) Tantangan yang kita hadapi sekarang, masyarakat nelayan kita ini, selama ini kita lakukan ‘pembiaran’ tidak pernah kita lakukan pengaturan, baik dizaman pemerintahan sebelumnya. Baru era sekarang Pak Menteri (menerbitkan Permen KP), dan keyakinan saya dan Bu Kadis dengan dinas (DKP) untuk mengelola (BBL) dengan benar. Sehingga kita melakukan kerjasama dengan pemerintah (daearah) Pesisir Barat. (kedua), Selama ini mereka (nelayan) itu menangkap (secara) liar bebas, tantangan kita luar biasa. Sehingga apa? para masyarakat nelayan kita yang mendapatkan benur (bbl) tiap pagi melakukan penangkapan ikan itu banyak dimanfaatkan oleh kelompok (bahasa lapangannya = jalur kiri) ‘liar”. Kelompok ‘liar’ ini tidak terkendali, mereka melakukan transaksi, kemudian lalu-lintasnya tidak terukur, tidak melalui surat keterangan kita (tanpa dokumen resmi). Sehingga mereka ini dimanfaatkan oleh bandar-bandar (penyelundup) yang diluar kerjasama dengan KKP. Mereka lakukan penyelundupan melalui rute Jambi-Batam-Singapore. Sehingga disitu ada kerugian pemerintah daerah dalam hal tatakelola sumber daya kelautan, yang seharusnya dapat (retribusi) pemda. Itu suatu tantangan kita, sekarang sudah kita usahakan dapat (retribusi).
Dalam waktu dekat, kalau diizinkan oleh Bu Kadis, saya ada rencana (tinggal pelaksanaan) buat forum Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang Forkompimda (dibuka oleh Pj. Gubernur). Sehingga pengawasan bersama terhadap tata kelola sumber daya kelautan bisa optimal.
Persiapan (FGD) rencananya di Balai Desa Budidaya Perikanan laut, karena disitu adalah salah satu instalasi Kementerian Kelautan Perikanan instalasinya cukup baik bagus, akan kita lihat juga pengembangan komoditi lain sesuai arahan Pak (Pj) Gubernur.
Bagaimana Proses Pengumpulan BBL Hingga Menjadi Lobster Dewasa?
Pengumpulan BBL yang dilakukan oleh masyarakat nelayan kita perkelompok dilapangan dan diberikan kuota. BBL dikumpulkan di Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian, Balai Perikanan, instalasinya berada di Tangerang.
Kita kedepan juga akan coba membuat suatu usaha skala kecil bagi kelompok masyarakat nelayan kita untuk pembudidayanya, kita akan coba kembangkan itu. Dan kita juga sudah pernah dijajaki oleh para investor dari Vietnam yang sudah bekerja sama dengan Indonesia (KKP), nanti akan kita arahkan ke pulau Buhawang. karena lokasi tersebut adalah lingkungannya yang mendukung terhadap pengembangan budidaya, tinggal nanti kesesuaian ruang laut kemudian tehnologi yang digunakan, tenaga kerja dan pakarnya, itu yang akan kita coba setelah penangkapan (pengumpulan bbl ) ini jalan, kira-kira begitu.
Prosesnya Serta bagaiamana mengoptimal BBL Menjadi Tambahan PAD ?
Proses daripada BBL ini adalah, penangkapannya dilakukan oleh masyarkat nelayan berskala kecil di pesisir barat yang diawasi oleh DKP Pesisir Barat. Mereka berkelompok dan melakukan penangkapan dimalam hari dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan yang sederhana. Kemudian dikumpulkan oleh ketua mereka lalu dibawa ketempat pelelangan yang sudah disiapkan oleh DKP Pesisir Barat bersama DKP Provinsi Lampung. Disitu dilakukan pencatatan dibuatkan Surat Keterangan Asal (SKA).
Untuk BBL kriterianya berat bersih dibawah 0.20 gram (kecil, bening putih). Kemudian dari situ kalau mau dilakukan pembudidayaan harus berproses menjadi sebesar ‘jangkrik’. Dari jangkrik baru bisa masuk kerambah, pra produksi-produksi kemudian baru bisa dilakukan pembesaran (lobster dewasa).
Yang agak rumit, dari bening menjadi ‘jangkrik’ membutuhkan instalasi sarana yang bagus dan lengkap. Di Lampung salah satu instalasi yang bagus Balai Besar di Hanura , ada juga tempat kajian di Politeknik Kota Agung. Pemda Provinsi Lampung, DKP Budidaya sendiri belum memiliki instalasi.
Tidak menutup kemungkinan nanti, kalau usaha budidaya bbl masayarakat nelayan skala mikro ini berkembang (prosedur sesuai aplikasi siloker), baru kita bisa melakukan pengembangan lebih lanjut.
Tambahan PAD ?
Sesuai Perda No.4 tahun 2024 tentang pajak dan retribusi daerah. Per ekor BBL yang akan dilalu-lintaskan keluar Lampung, apakah melalui Balai Layan Umum (BLU) atau kelompo-kelompok yang sudah berbadan hukum, Surat Keterangan Asalnya Rp,500 per ekor. Lalu lintas BBL harus dilengkapi dengan SKA dan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) yang sudah kerjasama dengan DKP Pesisir Barat sekarang sudah berjalan (retribusi).
Harapan Kedepan Pemprov Lampung Terkait BBL ?
Kita ini bukan daerah penghasil benur bbl saja dikarenakan sumber nya yang banyak. harapan kedepan, harapan kita dari pemerintah daerah, disamping masyarakat nelayan yang sudah memiliki izin dan kuota mereka juga pembudidaya selain sebagai penangkap benih bening lobster. Kalau sekarang di Vietnam 40 ribu rupiah perekor, kalau dia budidaya satu ekor bisa 1 juta harapan kita seperti itu. Restoran-restoran yang ada di Provinsi Lampung ini, jangan menunya hanya udang tambak saja, ada juga menu udang lobster, harapan kita seperti itu. Dengan berkembangnya usaha mikro disitulah nanti pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi kita disektor kelautan perikanan bisa bagus dan bisa juga nanti harapan kita ekspor terhadap lobster.
Apa Yang Akan di Sampaikan Pada Masyarakat Nelayan ?
Lakukanlah penangkapan yang benar dan ramah lingkungan, gunakan alat tangkap sesuai standar, laporkan hasilnya kepada pemerintah daerah khususnya lobster ke DKP setempat. Jangan lagi melakukan praktek-praktek ilegal fishing yang merugikan sumber daya. “Jangan ada lagi tangkap liar !,” tutup Zainal dalam dialog tersebut. (rusmin)