Tulangbawang, BP
Terkait dugaan kasus kriminalisasi hukum yang menimpa Wagiono bin Ramlan, warga Kampung Bratasena Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulangbawang, yang dituding telah melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP), Kuasa Hukum terdakwa Wagiono, yakni I Gede Putu Suastika SH (Law Office dan Associates Advocates dan Legal Consultants), mengajukan eksepsi. Demikian diungkapkan I Gede Putu Suastika, usai sidang kedua pembacaan dakwaan, di Pengadilan Negeri Tulangbawang, Senin (21/10/2019),
Menurutnya, eksepsi yang diajukan berlandaskan ketidakadilannya proses hukum atas laporan yang ada. “Dalam eksepsi itu, yang kita pertanyakan yakni Pasal 146 dan 227 KUHP tentang pemanggilan terdakwa, karena sebelumnya tidak pernah ada pemanggilan. Malah kita terkejut, karena tiba-tiba diinformasikan langsung sidang, tidak ada pemberitahuan resmi,” ungkap I Gede Putu Suastika.
“Maka, kita juga akan laporkan ke Jaksa Muda Pengawas (Jamwas), dan untuk Kepolisiannya kita akan laporkan ke Ka.Bid Propam Polda Lampung, karena selain Pasal 146 dan 227 KUHP yang tidak diterapkan, ada juga Pasal 143 – 144 KUHAP, yang telah mereka langgar,” imbuhnya.
Ia berharap adanya kebijakan dari Hakim. “Kita berharap adanya kebijakan dari Hakim itu sendiri, paling tidak putusan sela, sehingga klaen kita dikeluarkan, karena Jaksa sudah membuat dakwaan yang salah, jadi yaudah berarti disini harus ada putusan sela, karena ada empat pasal yang tidak mereka terapkan,” ungkapnya.
Apalagi, laporan ini seharusnya ke Perdata terlebih dahulu, bukan langsung ke Pidana. “Sebab sudah jelas dalam putusan Mahkamah Agung (MA), Pasal 156 KUHAP, karena kita keberatan, sebab Perdata bukan Pidana, sehingga dengan jelas, bahwa bilamana suatu perkara ada Perdata, maka selesaikan dulu Perdatanya,” tukasnya.
Sebelumnya, Sumiyati, istri dari Wagiono bin Ramlan, warga Kampung Bratasena Adiwarna Kecamatan Dente Teladas Kabupaten Tulangbawang, mengirimkan surat terbuka yang ditembuskan kepada Presiden melalui Sekneg dan Staf Presiden, Komisi Kepolisian Nasional, Kapolri, Ka.Bid Propam Mabes Polri, Kapolda Lampung, Ka.Bid Propam Polda Lampung serta Ombudsman RI Perwakilan Lampung, untuk meminta pegakan supremasi hukum yang berlandaskan aturan dan undang undang yang berlaku di Republik Indonesia.
Hal ini dilakukan lantaran terlapor kasus 378 KUHP, merasa di proses hukum tidak sesuai dengan tata cara aturan hukum perdata, sebagaimana dalam surat dakwaan dari Kejaksaan Negeri Tulangbawang, disebutkan bahwa terdakwa Wagiono alias Giono bin Ramlan telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang (Perdata).
Namun, jelas Sumiyati, suaminya diberlakukan seperti bukan dugaan kasus perdata, bahkan melebihi kasus (bukan perdata) lainnya yang ada di Indonesia. “Maka saya berharap adanya kepastian hukum terhadap suami saya, dimana Penegak Hukum bekerja dengan mampu menjelaskan dimana letak tata cara sesuai aturan, hingga dapat dilakukannya penahanan terhadap suami saya, sebab penahanan suami saya menabrak aturan dan perundang-undangan yang digunakan dalam proses hukum di Indonesia ini,” keluhnya.
Sebelumnya, sidang perkara Pasal 378 KUHP, terhadap terdakwa Wagiono Alias Giono bin Ramlan, warga Kampung Bratasena Adiwama Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulangbawang, yang sidang dakwaannya telah digelar Pengadilan Negeri Menggala, dianggap kuasa hukum terdakwa sebagai dugaan kriminalisasi hukum, Selasa (15/10/2019).
Pasalnya, menurut I Gede Putu Suastika SH, kuasa hukum terdakwa, pihaknya banyak menemukan kejanggalan terkait perkara ini, karena seperti dipaksakan dan terkesan terburu-buru.
Dijelaskannya, bahwa per tanggal 15 Agustus 2019, terdakwa dilaporkan, lalu dengan serta merta per 23 Agustus 2019, sudah ditetapkan sebagai tersangka, artinya proses lidik itu dimana, karena hanya hitungan 1 minggu. Kemudian berikutnya, sampai pada hal-hal yang berikutnya di tingkat penyidikan ataupun penangkapan, kapan ada penangkapan itu, dimana, karena klien dari kuasa hukum ini posisinya sedang di periksa kepolisian, jadi jangan pembohongan publik.
“Kalau penangkapan ya dimana penangkapan itu, sebab terdakwa itu diperiksa, lalu tiba-tiba diterbitkan surat penangkapan. Maka dari itu kami patut menduga dengan kesewenang-wenangannya, sudah melakukan suatu tindakan yang tidak dipayungi aturan tentang penyelidikan, penyidikan penangkapan dan penahanan dan lain-lain,” terang I Gede Putu Suastika, SH.
Lanjutnya, hal ini seperti kriminalisasi hukum, jadi jangan sampai mengorbankan rakyat yang awam akan proses hukum. “Disini kami berbicara sesuai peraturan Mahkamah Agung, nomor 1 Tahun 1956, disitu sudah jelas dijelaskan jika ada pelaporan dan ada unsur keperdataan, selayaknya perdataan dulu yang maju, baru pidana, artinya dalam perkara ini, peraturan Mahkamah Agung tidak diindahkan,” jelasnya.
“Kita disini semata-mata bukan meminta klien untuk dibebaskan, cuma mari kita pakai aturan yang benar, kalo udah Undang-undang yang mengatur ya ayo kita pakai itu, dan Kepolisian saat diajak komunikasi mereka tertutup, dan mengapa tidak mengajukan pra-pradilan, sebab sejak per 15 Agustus 2019 ada laporan polisi, per 23 Agustus sudah penetapan tersangka, per 24 Agustus sudah ditangkap dan ditahan,” paparnya.
“Dalam hal ini, begitu serta mertanya sudah keluar penangkapan, penahanan, tiba tiba dengan sendirinya Kepolisian langsung melimpahkan ke Kejaksaan, jadi kewenangan Kepolisian 60 hari itu kemana, terus bukti surat apa, saksi-saksinya siapa, sampai sudah bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka, jadi nggak ada celah untuk pra-pradilan” tambahnya.
Lalu pada tanggal 15 Oktober ini sudah sidang, artinya rentan waktu kejaksaan melimpahkan berkas ke Pengadilan sangat cepat. “Selain itu jika diurut dari tanggal 15 Agustus sampai tanggal 23 Agustus, kapan SPDP dikirim, kapan ada petunjuk dari Kejaksaan, ayo kita main hitung-hitungan, apa iya Kejaksaan dalam waktu sekejab tidak ada rentan waktu sudah bisa memberikan petunjuk untuk gunakan pasal apa, lantas P18 dan P19 kemana, nggak ada, satu-satunya perkara di Indonesia mungkin ini aja,” urai I Gede Putu Suastika SH.
Lucunya, lanjut I Gede Putu Suastika SH, dari informasi yang didapat, selaku pelapor, Dwi Purwanto saat ini kabur. “Maka nanti di fakta persidangan kita akan buktikan saksi-saksi yang diperiksa oleh Kepolisian di Kota Bandar Lampung, sebab Polres kita di Kabupaten Tulangbawang,” jelasnya lagi.
“Jadi kita akan ungkap ini, kita akan kejar kebenaran, untuk menegakkan supremasi hukum yang benar-benar. Oke Kepolisian boleh memeriksa meminta keterangan kepada seseorang, jika, seseorang itu sakit dan tidak bisa kemana-mana, nah ini ke 9 saksi itu diperiksa di Hotel, kan aneh,” tanya I Gede Putu Suastika SH.
“Kita berharap Kejaksaan dapat menjelaskan, petunjuk awal hingga dapat dikenakan Pasal 378 KUHP, mereka harus jelaskan, dan kepada Pengadilan kita berharap untuk membaca seksama sudah layakhah perkara ini di sidangkan atau belum, sudah cukup buktikah, karena di Kejaksaan bukti hanya sekedar kwitansi,” keluhnya.
Maka untuk sidang kedepan, pihak terdakwa mengajukan esepsi. “Nanti disitu kita akan lihat, dalam pembuktian segala macam kita akan buka, termasuk keterangan saksi, jangan sampai saksi yang siap bersaksi sampai salah bersaksi, awas ingat ada istilah saksi palsu dan sumpah palsu, dan kedua ini akan dapat menjerat saksi yang berbohong dengan pidana, dan dengan esepsi ini, kita berharap pelapor, Kepolisian dan Kejaksaan dapat dihadirkan, sebab dengan praduga tak bersalah dari kita, istri pelapor mondar mandir ke Kejaksaan, dan ini patut untuk tanda kutip dicurigakan,” tandasnya. (riswan)