Bongkar Post
Bandar Lampung,
Polemik hasil quick qount menuai komentar dari komisioner KPU Lampung, Antonius Cahyalana kepada awak media pada Kamis (15/2), bahwa hitung cepat dari salah satu lembaga survey (Rakata) dengan margin eror cukup besar, menyentuh angka 3,45%.
Komisioner KPU Lampung Bidang Sosialisasi Pendidikan Pemilih (Sosdiklih) dan Partisipasi Masyarakat (Parmas) itu, mengatakan toleransi kesalahan yang cukup tinggi berpotensi membuat kekisruhan.
Senada dengan Dedy Hermawan, Dosen Fisip Unila, pengamat politik dan kebijakan publik kepada media ini mengkritik kinerja lembaga survey dengan sampling sedikit tapi margin eror tinggi.
“Ya, selagi metode mereka bisa dipertanggung jawabkan, boleh saja. Tapi dengan margin eror cukup tinggi, jelas merugikan para kontestan politik khususnya di tingkat lokal, karena bisa merubah ranking atau urutan dari hasil akhir hitung cepat, sedangkan hasil real qount KPU bisa saja berbeda jauh,” paparnya pada Jumat (16/2) kepada bongkarpost.co.id.
Pemilu tahun 2024 dikatakannya lebih rapi secara prosedur dan teknis, namun memiliki persoalan mendasar, yaitu Etika.
“Potret pemilu tahun 2024 berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pemilu kali ini sudah cacat dari segi etik atau etika dari hulu ke hilir. Ini berimbas ke semua lini. Angka pelanggaran dan jumlah pengaduan masyarakat maupun para kontestan politik cukup tinggi. Beginilah potret demokrasi Indonesia sekarang ini,” lanjutnya.
Dikatakannya, bahwa dari kasus Mahkamah Konstitusi, isu keterlibatan pemegang kekuasaan sampai tingkat daerah dan ketidaknetralan birokrasi setta ASN marak terjadi. Itu fenomena umum yang sudah diketahui publik selama proses jelang Pemilu 2024.
Dicontohkannya, masih ada menteri yang masih menjabat ikut terlibat aktif mengkampanyekan partai atau caleg tertentu, bahkan sampai level capres-cawapres. “Kembali lagi ini persoalan serius dalam demokrasi, dimana para anggota keluarga yang notabene anak dari pejabat publik maupun eks pejabat, bahkan anak pengusaha sudah bisa dipastikan melenggang ke kursi legislatif,” tegasnya.
“Soal etika politik, tidak ada kaderisasi internal partai, lebih pada target jangka pendek dan pragmatis, politik transaksional, politik uang dan sebagainya adalah potret buram pemilu di Indonesia. Ini kemunduran bagi demokratisasi,” tambahnya.
Lembaga survey independen sebaiknya bergabung dalam sebuah asosiasi sehingga memiliki legitimasi kuat dan kredibel di mata publik. Tentu harus verified terlebih dahulu.
“Sejalan dengan proses hitung cepat (quick qount) lembaga survey, ada baiknya KPU secepatnya menyelesaikan perhitungan real qount. Bila perlu di stop atau dihentikan dulu proses quick qount tersebut agar publik lebih tenang dan diharapkan masyarakat fokus pada hasil rekap KPU, bukan berpatokan pada lembaga survey,” tutupnya. (Nop)