Bongkar Post
GARA-GARA SIREKAP MENUAI HAK ANGKET
Cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbuntut panjang. Setelah lama tertidur pulas, DPR akhirnya bangun. Mereka mulai menggulirkan wacana hak angket dan pemakzulan tehadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Wacana hak angket dan pemakzulan mengemuka ke publik menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga sarat kepentingan sebagian pihak. Putusan MK terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) itu terjadi hanya 3 hari sebelum KPU membuka pendaftaran peserta Pilpres 2024.
Isu yang santer terdengar, putusan MK tersebut hanya untuk memberikan jalan bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres Prabowo Subianto. Suatu putusan yang kemudian berbuntut kepada pelaporan paman Gibran, Anwar Usman, ke Mahkamah Kehormatan MK (MKMK). Dan akhirnya diberhentikan dari jabatannya.
Kisruh Sirekap
Wacana Hak Angket DPR dipertegas lagi melalui statemen dari Capres 03 Ganjar Pranowo paska pencoblosan setelah mengetahui hasil rekapitulasi Sirekap KPU. Awalnya narasi itu tercetus dari warga sipil yang tergabung dalam Petisi 100 yang kirim surat kepada Mahfud MD selaku Menkopolhukam pada 9 Januari 2024. Kemudian direspon oleh beberapa kader PDIP dan pengamat politik.
Kemudian, kisruh dan gaduh mewarnai proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 baik pada saat penghitungan suara Pilpres, DPD RI maupun legislatif dari DPR RI sampai tingkat kabupaten, bahkan di luar negeri. Laporan ketidakpuasan dan gugatan indikasi adanya kecurangan di mana-mana, misal penggelembungan suara, begal suara, kehilangan suara, keterlibataan ASN serta birokrat, APH dan lainnya sudah banyak masuk ke Bawaslu, DKPP dan KPU baik pelaporan langsung dari para caleg, timses Capres-Cawapres, dan dari masyarakat. Kegaduhan itu dimulai dari hasil polling Quick Qount lembaga survey dan Sirekap KPU dalam tayangan Real Qount secara online, dapat diakses oleh siapa saja sebagai bentuk transparansi publik.
Kekisruhan adalah cerminan ketidakpercayaan rakyat atas hasil quick qount dan Sirekap KPU akhirnya mendorong opini publik pada hasil rekapitulasi manual di tingkat kecamatan (PPK) yang masih berlangsung hingga tanggal 2 Maret 2024. Rekap manual ini pun dikhawatirkan tidak bisa diakses dan dimonitoring 24 jam oleh rakyat dan para caleg. Akan banyak lobi-lobi politik yang terjadi. Ini sudah tradisi di setiap perhelatan politik 5 tahunan di Indonesia.
Tak pelak, Ketua KPU RI sudah menyampaikan permohonan maaf secara resmi atas apa yang terjadi. Bawaslu RI bahkan sudah menyebutkan stop real qount agar tidak menjadi polemik berkepanjangan. Semua elemen masyarakat sudah angkat bicara dalam kasus Sirekap ini. Sudah dipastikan hasil IT KPU tersebut merugikan hak para kontestan politik.
Sebenarnya Sirekap alias aplikasi real qount produk KPU itu sudah pernah diterapkan pada Pemilu sebelumnya bahkan di pilkada 2 tahun lalu. Dengan basis numerik pembacaan hasil foto C1 diinput ke sistem aplikasi yang seharusnya menghasilkan angka asli sesuai form C1, namun yang terjadi berantakan, angka-angka yang muncul tidak sesuai dengan manual C1. Berapa banyak uang negara (uang rakyat) dihabiskan untuk menghyer aplikasi berbasis IT tersebut?
Menurut pakar Telematika Roy Suryo, server (cloud) apk Sirekap ini ada di luar negeri, salah satunya Negara Singapur yang terdekat. Sehingga perlu diaudit secara forensik. Embrio teknologinya berasal dari Kampus (ITB). Kampus mesti bersuara saat ini menurut Roy agar clear.
Pakar politik sekaligus pendiri PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah mengusulkan DPR membentuk panitia khusus (pansus) Pilpres 2024. Hal itu untuk mengusut dugaan kejanggalan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Pansus ini kan ada aturannya, dan dengan membentuk pansus kemudian ada kerangka waktu tertentu yang di dalamnya pansus bekerja dengan melibatkan stakeholder,” ujarnya. Melalui Pansus, kata Eep, DPR bisa memanggil pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilu. Baik dari lembaga maupun kementerian.
Pemanggilan tersebut untuk mengklarifikasi dugaan kecurangan yang selama ini menjadi perbincangan di publik. “Menteri Keuangan (dipanggil) soal penganggaran bansos, Kapolri soal dugaan tentang mobilisasi polisi sampai ke tingkat bawah, panglima TNI soal dugaan-dugaan politisasi tentara yang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan partisan, Mendagri dalam kaitan penggunaan birokrasi dan lain-lain yang menurut banyak sekali pihak diduga sangat masif terjadi dan seterusnya,” ujarnya seperti yang dilansir inews.id pada 22 Februari lalu di jakarta.
Dengan membentuk pansus, menurutnya, DPR juga bisa meminta pandangan dari civil society yang bergerak di bidang kepemiluan. “Menurut saya itu jauh lebih relevan untuk kita galang sekarang, jadi sebagai warga negara saya usul DPR untuk membentuk Pansus Pilpres 2024,” tutupnya.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni: Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.
Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Keresahan publik yang meluas dapat memakzulkan pemerintah saat ini. Meskipun saat ini keresahan belum meluas, namun demikian apabila sudah bertumpuk akan menyebabkan sebuah ledakan atau disebut dengan istilah silent majority. Apa yang menyebabkan Donald Trump kalah sama Joe Biden bukan Joe Biden yang sebegitu hebat sebegitu muda dan seterusnya, tapi karena silent majority yang tiba-tiba mengatakan “enough is enough“.
Usulan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Hak angket paling sedikit diusulkan oleh 25 orang DPR dan lebih dari satu fraksi.
2. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen materi kebijakan dan alasan penyelidikan.
3. Hak angket bisa disetujui apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggotan Dewan. Keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir.
Di sisi lain, dalam sebuah podcast di Youtube, Eep Saefulloh dari PolMark Research Centre menyebutkan 4 faktor yang bisa memakzulkan Presiden Jokowi dengan mengacu pada kasus-kasus di Amerika Latin. Selain itu, pemakzulan Presiden juga pernah terjadi pada masa kepemimpinan Gus Dur.
Faktor pertama adalah skandal yang terkait langsung dengan Presiden, lalu kegagalan kebijakan yang terasa nyata, resistensi parlemen yang melembaga kuat, didukung oleh oposisi dan gerakan sosial di luar parlemen, serta meluasnya keresahan publik.
Pemakzulan atau impeachment bukanlah kudeta atau istilah menakutkan karena sudah diatur dalam konstitusi. Bahkan UUD 1945 sebagai acuan konstitusi NKRI sudah beberapa kali diamandemen oleh DPR RI.
Pemakzulan pernah menimpa presiden RI pertama, Soekarno pada Siang Istimewa (SI) MPR tahun 1966 karena Presiden Soekarno dianggap tidak mampu mengelola dan menyelesaikan huru-hara politik paska tragedi 1965. Pernah menimpa Presiden Soeharto tapi dalam konteks yang berbeda, yaitu Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI pada tahun 1998 karena dorongan gerakan ekstra parlemen yang massif. Pemakzulan terjadi lagi menimpa Presiden Gusdur tahun 2001 dimana DPR-MPR menilai Gusdur melanggar konstitusi negara karena membubarkan lembaga DPR.
Kini, pintu gerbang pemakzulan sudah terbuka melalui kasus cawe-cawe Presiden Jokowi yang dianggap publik menabrak konstitusi negara tentang sumpah presiden untuk tidak melakukan KKN.
Efek bola salju terjadi, kasus Sirekap KPU dan quick qount lembaga survey menyebabkan public distrust. Hasil dari ketidakpercayaan publik atas semua itu berpotensi men-undelegitimasi atas hasil Pemilu 2024. Wacana Pemilu ulang akan terbuka lebar bila syarat-syarat teknis dan politis terpenuhi.
Skenario hak Angket bila mulus, akan diminta persetujuan MK dalam waktu 90 hari. bila MK setuju akan diteruskan ke lembaga MPR dalam waktu maksimal 30 hari. secara teknis 120 hari atau 4 bulan cukup untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. (Nani Sukanti)