Banjir Jangan Dipolitisir! Ini Bencana Nasional

 

Pojokan Bongkar Edisi 3
(27 Februari 2024)

Bacaan Lainnya

Banjir Jangan Dipolitisir!
Ini Bencana Nasional

Langganan. Setiap tahun dilanda banjir. Banjir bandang melanda Kota Bandar Lampung, Kota Tapis Berseri. Tahun ini terparah bahkan sejak 20 tahun terakhir. Puncaknya pada Sabtu, 24 Februari kemarin.

Setiap hujan lebih dari 2 jam pasti banjir. Bukan main-main, hujan lebat disertai kilat dan petir. Takut dan kepanikan warga dapat kita saksikan bersama bak rumah kaca, evakuasi akibat rumahnya dikepung banjir, rumah hanyut, tergerus, roboh, hujan deras sejak sore hari menyebabkan air sungai dan drainase kota overload alias meluber, dari ukuran selutut sampai sedada orang dewasa. Air tanpa kompromi menghantam perumahan, pemukiman bahkan menggenangi jalanan utama kota dari kecamatan Rajabasa sampai Kecamatan Panjang, dari jalan ZA. Pagar Alam hingga jalan Yos Sudarso.

Sedikitnya 10 Kecamatan terkena dampak, diantaranya Rajabasa, Labuhan Ratu, Kedaton, Langkapura, Kemiling, Hajimena, Teluk Betung, Sukabumi, Campang Raya, dan Way Lunik. Rajabasa paling parah terutama di Kelurahan Nunyai, 80 an rumah terendam dan tenggelam.

Walikota yang baru tiba dari Jakarta sigap dan gercep memimpin langsung beserta jajaran BPBD, Damkartan, DLH, PU kerahkan ratusan personil untuk membantu warga yang terdampak. Walikota Eva Dwiana bekerja hingga subuh. Tak kenal lelah memantau langsung di beberapa titik terparah. Sangat terlihat sinergitas treatment (penanganan) ala bunda Eva dan birokrasi sampai tingkat RT paska bencana. Tak kurang dukungan dan support simultan dan spontanitas ditunjukkan oleh elemen masyarakat (OKP dan Aparat Penegak Hukum) bahu-membahu membantu warga.

Menurut catatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Lampung, kerugian akibat banjir mencapai Rp 197 miliar. Bukan jumlah yang sedikit. Angka tersebut mencakup aspek kerugian fisik seperti bangunan rumah, kendaraan, usaha ternak, barang elektronik, alat rumah tangga, mesin produksi, mini pabrik khususnya yang berlokasi di area produksi UMKM. Secara umum berekses luas terhadap laju ekonomi. Kerugian akibat banjir ini menegaskan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan bencana secara komprehensif demi melindungi masyarakat dan keberlangsungan usaha di wilayah terdampak.

BMKG sudah mencatat, menginformasikan dan me warning tentang bahaya ini. Curah hujan di Kota rata-rata mencapai 30.6 mm dalam 2 hari kejadian. Respon pun beragam dari para stakeholder. Kritik, masukan, analisis kritis, bahkan hujatan silih berganti mewarnai ruang digital kita. Sikap warga yang mungkin didasarkan pada aspek history dan story karena baru saja melewati momen politik Pemilu 2024 yang hasilnya kontroversial (Sirekap, Hak Angket, Pemakzulan). Ibarat 2 kejadian besar, “bencana politik dan bencana alam nasional”. Tanpa jeda seiring sejalan.

Segudang kritik tentang semrawut penanganan Tata Kelola Kota (RTRW) blueprint nya yang tidak lagi sesuai arah. Pembangunan kota yang tidak mengindahkan dampak lingkungan seperti Hutan Kota yang kini tinggal kenangan. Hanya setitik hijau dari pantauan drone. Analisis forensik DIBI keluaran BNPB bahwa Provinsi Lampung telah mengalami 94 kali kejadian bencana banjir sejak tahun 1815 sampai 2024. Untuk Lampung, pemetaan daerah rawan banjir terpola saat peralihan musim terhitung November –Desember 2023. Praktik alih fungsi RTH dituding menjadi biang keladi dan tak pernah terselesaikan. Mungkin ini problem kebijakan, bahkan dari generasi kepemimpinan 2 dekade silam.

Ketuk HATI NURANI. Mari duduk satu meja, satukan pemikiran, paradigma dan program untuk membuka ruang perdebatan dan konsepsi, membahas apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana solusi mengatasinya dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Buang egoisme dan eksklusivisme kelembagaan, institusi, uniform, idiologi, dan kepentingan politik demi rakyat dan masa depan anak bangsa. Tak elok rasanya bila setiap kejadian melulu dihubungkan dengan aspek politik, pencitraan dan mencari kambing hitam. Rengkuh kembali semangat reformasi total, bukan tambal sulam apalagi hanya sibuk mengurusi persoalan-persoalan teknis yang tak ada habisnya. Intinya bencana alam jangan di POLITISIR, tapi di NETRALISIR.
Tabiik pun…….**

Pos terkait