Part 1 – Dilema Bank Lampung, dulu, sekarang, dan nanti

Pojokan Bongkar Edisi 4

Part 1

Bacaan Lainnya

 

Pemerintah Daerah (Pemilik BUMD) Tidak Komitmen Dalam Menjalankan Kewajiban Penyertaan Modal Sesuai Aturan dari OJK

 

“Ini bukan problem manajemen, tapi masalah terletak pada pemiliknya. Mereka enggak ngerti aturan perbankan dan merasa lebih pintar dari yang mengelolanya. Pengurus/manajemen Bank Lampung sudah mengingatkan dan minta kepada pemilik (Pemprov Lampung-red) untuk cukupin modal BUMD nya tersebut sudah dari 10 tahun lalu. Padahal ini mungkin satu-satunya BUMD milik pemda yang paling sehat, yang kasih laba/PAD kepada pemegang sahamnya (Provinsi, Kabupaten, Kota)”.

Sedikit cuitan dari narasumber yang tidak mau disebutkan namanya tapi sudah 30 tahun berpengalaman di dunia perbankan dan non bank. Dia salah satu pengamat perbankan, dan berani mengupas habis kisi-kisi yang publik tidak ketahui apa sebenarnya yang terjadi dengan Bank Lampung hari ini. Masyarakat harus diberi informasi yang jujur dan edukatif.

“Bahasa halusnya dari istilah ‘dicaplok  Bank Jatim.’ Itu karena ketidakmampuan pemilik memenuhi ketentuan permodalan. Dari pada turun status jadi BPR, nggak apa berbagi laba dan manajemen dengan pemda provinsi lain.” Miris.

Sebelumnya, hasil RUPS Bank Lampung di Hotel Mercure pada Jumat lalu Direktur Utama Bank Lampung Presley Hutabarat mengatakan, merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 12/POJK.03/2020 Tahun 2020 bahwa syarat penyertaan modal inti minimal Rp 3 triliun.

Dan pencapaian kinerja Bank Lampung per 31 Desember 2023, untuk total aset Rp 10,327 Triliun. Total kredit Rp 6,96b Triliun, dimana untuk kredit produktif Rp 2,10 Triliun dan kredit konsumtif Rp 4,86 Triliun. Pengembalian bisnis KUR mencapai 15.370 debitur dan outstanding Rp 972 Miliar.

Angka di atas menunjukkan bahwa Bank Lampung sebagai BUMD tidak bangkrut karena asetnya lebih dari 10 Triliun. Masyarakat awam tidak banyak yang memahami perbedaan antara modal dengan DPK. DPK (Dana Pihak Ketiga) berbentuk deposito, tabungan, dan lain-lain, sedangkan modal adalah regulasi. Ini masalahnya.

Pemerintah daerah selaku pemegang saham belum cukup memberikan modal setornya kepada Bank Lampung sesuai regulasi OJK dan tidak patuh dengan komitmennya mengangsur modal setor setiap tahunnya. Sehingga baru sekarang dirasa akibatnya terpaksa harus bergabung dengan bank induk yang bermodal lebih dari 3T (bank buku III).

Aturan OJK suntikan modal inti tidak boleh bersumber dari hutang, harus dana aman.

Publik mengetahui pembangunan di Provinsi Lampung biayanya banyak dari hutang sehingga APBD selalu defisit. Jawaban mereka selaku pemilik selalu defisit alias “bokek”.

Fenomena yang terjadi, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota latah, terkesan mengejar prestise.

Banyak mendirikan BUMD hanya mengejar kebanggaan, terbukti BUMD bertumbangan atau tidak berumur panjang. Bila bicara proses hulu ke hilir, Bank Lampung yang berdiri sejak tahun 1966, problemnya di bagian hulu…**

 

Bersambung ke part 2 

Pojokan Bongkar Episode 5

 

Sumber : pengamat lembaga keuangan perbankan & non bank 

Pos terkait