AUDIENS KITA TETAP MANUSIA, BUKAN ROBOT – Konsistensi brand dan etika dalam berkomunikasi ialah tanggung jawab kita. (Steve Saerang, kiri). Redaktur Senior Bongkar Post, Sattika Octaria (kanan). | dok. Steve Saerang/YouTube Bongkar Post TV/Muzzamil
BANDARLAMPUNG, BONGKARPOST.CO.ID — Co-Founder dan Chief Communication and Corporate Affairs GEMA Creative cum Ketua Bidang Pengembangan Keanggotaan dan Perhumas Muda BPP Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), Steve Saerang, menyebut pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) buah Revolusi Industri 4.0 yang kian masif termasuk dalam dunia komunikasi publik, mesti dilakukan tanpa meninggalkan sentuhan manusia.
Komunikasi adalah super power yang dibutuhkan semua orang, bukan hanya praktisi PR. Tanpa strategi komunikasi yang tepat, sebuah pesan bisa merusak citra atau brand (jenama) perusahaan.
Di tengah gempuran teknologi, ratusan tools baru berbasis AI, bermunculan tiap kala, PR justru dituntut pertajam kemampuan bangun pesan berempati, relevan, tepat sasaran.
Steve Saerang menggarisbawahi, AI harus diperlakukan sebagai alat, bukan ancaman.
“Kalau AI dianggap ancaman, kita yang dikendalikan. Tapi kalau diposisikan sebagai tools, manusialah pilotnya,” kata Steve, saat berbicara dalam Instagram Live tajuk “Masa Depan PR: Sinergi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Sosial” taja kolaborasi 2N PR Navigation dan Perhumas, pekan kedua Agustus lalu, seperti diakses ulang disitat di Bandarlampung, Minggu (7/9/2025).
Dalam kontekstualitas praksismenya di jagat perhumasan, Steve berpandangan, public relations (PR) harus memadukan kekuatan teknologi dengan empati (human nuance), pemahaman konteks, dan kepekaan budaya yang tak tergantikan oleh mesin.
Teknologi AI imbuh dia, dalam praktiknya bisa mengotomasi pekerjaan teknis seperti media monitoring atau keyword tracking, sehingga dalam pekerjaannya PR dapat fokus mengambil keputusan strategis.
Namun, Steve yang pernah menyebut AI saat ini, setara penemuan akbar mesin uap tahun 1.700-an yang mendorong Revolusi Industri, sehingga dunia jadi yang kini kita kenal ini, menekankan sedikitnya terdapat tiga keterampilan manusia yang tak bisa digantikan AI: kemampuan membaca manusia dan konteks budaya, menjaga konsistensi brand, dan menegakkan etika.
“Audiens kita tetap manusia, bukan robot. Konsistensi brand dan etika dalam berkomunikasi ialah tanggung jawab kita,” lugas Steve mengintensi.
Steve, lelaki berdarah Kawanua ini kenyang asam garam dunia pertelekomunikasian. Dia kariris profesional korporat pelat merah: eks GM Telkomsel Area Manado, lalu Head of Education & Public Community Development Department Telkomsel (2015–2019), Vice President of Communication DANA (korporat pengembang dompet digital ampuan Espay Debit Indonesia Koe) kurun 2019–2021, Head SVP Corporate Communication Telkomsel (per 14 Februari 2021), dan SVP Head of Corporate Communications Indosat Ooredoo Hutchison 2021-2025.
Pria pelontos ini kini pede menasbihkan diri sebagai ahli strategi komunikasi kreatif dan penasihat eksekutif. Bukannya tanpa sebab, dengan 17 tahun lebih pengalaman susun strategi komunikasi kreatif untuk merger besar, transformasi merek, dan kampanye global, dia hadirkan pendekatan inovatif dan berbasis wawasan pada tiap kolaborasi.
Kini Steve aktif beri nasihat ke klien korporat soal manajemen reputasi, posisi merek, pengembangan kepemimpinan pemikiran, dan merek pribadi eksekutif untuk bangun persona publik yang otentik dan tepercaya.
Salah satu legasi Steve di industri telko, saat dia belasan tahun berkarir di Telkomsel, via dedikasi atas prestasi program pencarian startup berbakat Telkomsel, The NextDev. Lewat tangan dingin Steve, ini program manifes jadi pencarian startup baru dan berkembang sebagai agregator startup. Program berdampak, sedikitnya 200-an startup lokal lahir tumbuh berkembang.
Saat di Indosat Ooredoo, Steve menginisiasi kolaborasi pengembangan AI korporat telko berpelanggan 60,4 juta hingga akhir 2020 ini bersama korporat NVIDIA. Steve, peraih penghargaan khusus Excellence in Media ajang Seluler Award 2022.
Juga Satyalancana Wirakarya 2023 dari Presiden RI untuk kontribusi luar biasa bagi pemberdayaan masyarakat melalui inisiatif komunikasi strategis, dan Penghargaan Komunikasi Dunia (World Communication Award) 2024 untuk kategori Best Digital Transformation (Penghargaan Transformasi Digital Terbaik untuk strategi komunikasi inovatif terkemuka dalam evolusi industri teknologi) di London, 10 Desember 2024.
Terbaru, Penghargaan Stevie APAC 2025, Penghargaan Emas untuk Inovasi dalam Urusan Publik yang akui komunikasi strategis luar biasa dalam transformasi digital.
Diskusi Live IG itu diabdikan Perhumas guna menegaskan di era teknologi makin canggih ini, pesan positif dan empati manusia tetap harus menjadi inti komunikasi.
Sejalan kampanye #IndonesiaBicaraBaik, dorong praktisi PR memanfaatkan inovasi digital secara bijak, menyampaikan informasi yang membangun, perkuat reputasi bangsa dengan narasi penuh makna.
Perkuat Literasi Publik
Sementara, turut menohok, Redaktur Senior Bongkar Post, Sattika Octaria, dengan nada setengah menggugat membelejeti fenomena gagal paham publik teknologi tanah air di dalam memanfaatkan AI.
Tak jauh-jauh dari dunia gelutannya: media massa, Tika demikian sapaan karib alumnus S1 Komunikasi FISIP Unila 1997 ini bilang, pemanfaatan AI secara salah, secara tidak patut, dan secara tidak semestinya, alias penyalahgunaan pemanfaatannya justru untuk menginisiasi, mengotaki, melakukan, segala sesuatu tindakan produksi, transmisi, dan distribusi informasi palsu, berita palsu, berita bohong, berita invalid dan sejenisnya, jadi tantangan tersendiri bagi publik AI di jagat media massa juga praktisi kehumasan.
Tika merujuk pada yang ia sebut sebagai “kasus kejahatan deepfake hoaks serius”, yang menimpa diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atas video hoaks viral “guru dan dosen adalah beban bangsa”.
Padahal usai disimak utuh videonya, itu tak benar. “Tapi publik apalagi awam, terlanjur menelan mentah-mentah informasi itu tanpa cek fakta, caring before sharing, dan serupa lainnya. Ini kan sangat fatal. Sangat, sangat merugikan hak informasi publik,” beber Tika menyesalkan.
“Akhirnya, respons publik yang viral adalah juga respons yang fatal, salah besar ya kan. Respons atas hoaks. Hoaks dibalas hoaks ujungnya. Ya Tuhan negeriku kenapa bisa begini. Ini 2025 lho udah. Itu oknum yang bikin video hoaks itu pantas lho disebut sebagai “bajingan’ nggak sih,” geram ia.
Dari itu, Tika menyorongkan pesan tunggal: literasi. “Perkuat literasi publik soal AI ini. Penyalahgunaan AI untuk kepentingan politik bahkan perang proksi di tataran geostrategi global adalah telah, tengah, bahkan saya lihat akan terus ada dan itulah sesejatinya tantangan,” lugas ia menandaskan.
Lantas, bagaimana sikapinya? “Kalau saya, perkuat literasi AI, perkuat literasi publik soal AI. Tekankan terus sebagai alat, AI harus dipakai sepenuhnya buat mencerdaskan, memberdayakan, bukan buat kejahatan baru digital. Nah ini tugas siapa? Tugas bersama lah, termasuk pers, termasuk media massa,” ujar ia mengunci keterangannyi.
Pembaca, kendati misal teknologi ChatGPT atau Deepseek sudah berlaku seolah-olah seperti the way human think, tetapi ia cuma punya cipta, daya, dan data, serta kuasa, akan tetapi ia tak punya karsa dan rasa. Sekali lagi, AI cuma kecerdasan buatan, dan bukan kecerdasan sosial. Setuju, bukan?
Jadi jangan mudah terkecoh ya. (Muzzamil)
#bongkarpost #IndonesiaBicaraBaik #AI