Ulun Lampung, Produser Yulia Evina Bhara Terpilih Juri Festival Film Cannes 2025

JURI – Yulia Evina Bhara (kiri tengah). | Instagram/Muzzamil

Bongkar Post

Bacaan Lainnya

BANDARLAMPUNG, BONGKARPOST.CO.ID — Warta harsa dari jagat sineas perfilman (senfil) Tanah Air ditengah duka kepergian legenda seni; bintang film Minah Gadis Dusun (1965), Di Balik Cahaya Gemerlapan (1966), Rio Anakku (1973), drama musikal Bawang Putih (1974), Tiga Cewek Badung (1975), box office Inem Pelayan Sexy (1976), Martinem (1977), Gadis (1980), Koboi Sutra Ungu (1981), hingga Apanya Dong (1983), yang wafat 11 April 2025, Titiek Puspa.

Dua hari sebelum itu, produser film dan teater Indonesia kelahiran Way Kanan, Lampung, Juli 1982, Yulia Evina Bhara, renjana berkabar ia terpilih jadi satu dari lima juri ajang Semaine de la Critique alias Critics’ Week Cannes Film Festival 2025 di Prancis, 13-24 Mei 2025 nanti.

 

Warta, meminjam istilah Syahrini, cetar. Ulala.

Critic’s Week (Pekan Kritik), menjadi bagian paralel dari festival film bergengsi dunia ini, yang berkomitmen menemukan bakat baru.

Nantinya, Yulia Evina Bhara dan sejawat juri akan memberikan penghargaan utama AMI Paris untuk La Semaine de la Critique bagi film fitur terbaik, Penghargaan Bintang Baru Louis Roederer Foundation, Penghargaan Leitz Cine Discovery untuk Film Pendek, dan Penghargaan French Touch dari Juri.

“Pumped and proud to be part of @semaine_de_la _critique Cannes jury this year. Excited to discover the amazing selection,” tulis Yulia Evina Bhara di Instagram, Rabu (9/4/2025) WIB.

“Terpompa, dan bangga menjadi bagian dari juri tahun ini. Bersemangat, untuk menemukan pilihan yang menakjubkan,” kekira taklimat endorfin Yulia Evina Bhara, terpicu adrenalin.

Produser rumah produksi KawanKawan Media ini terpilih bersama sineas, penulis skenario, produser asal Spanyol, Rodrigo Sorogoyen (ketua dewan juri); juga komedian Inggris pemenang Oscar, BAFTA dan Golden Globes, bintang film Judas and The Black Messiah, Get Out, dan Nope, Daniel Kaluuya.

Kemudian, kritikus film, dan anggota panitia seleksi Festival Film Internasional Marrakech, jurnalis Maroko untuk Le Desk (Maroko) dan Vogue Arabia, Jihane Bougrine.

Juga, sutradara fotografi Prancis-Kanada, nominee Cesar untuk The Apollonide dan Light Awards untuk Saint Laurent dan The Beast, karyanya juga ada di Passages atau In His Image, Josee Deshaies.

Melalui media sosialnyi pula Yulia mewarta, salah satu ko-produksi (co-production) film dari KawanKawan Media berjudul Renoir yang disutradarai oleh Chie Hayawaka, diproduseri bersama Eiko Mizuno-Gray dan Jaso Gray dari Loaded Film Ltd, ko-produksi Yulia sendiri dan Amerta Kusuma (KawanKawan Media) juga beberapa lainnya, berhasil terseleksi pula di kompetisi utama Festival Film Cannes 2025.

Pencapaian ini menjadi atribusi kali kesekian bagi perempuan mungil tangguh kelahiran dan berdarah asli Lampung, kecil remajanyi banyak dihabiskan di Kota Bandarlampung ini.

Yulia Evina Bhara –sejawat remaja lebih karib menyapa EB menyingkat tengah belakangnyi; kecil remaja bercita-cita jadi guru. Itu pula yang membimbingnyi selulus SMA, berkuliah di Program Studi S1 Bahasa Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila), 1999 silam.

Selain mahasiswi pemburu IPK tinggi, sempat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila, bagian penggerak suporter klub bola kebanggaan Lampung di eranya: Persatuan Sepakbola Bandar Lampung (PSBL); tak nyana ia bakal turut larut terbawa pula pusaran arus deras dunia pergerakan.

EB lalu “terjerumus” menerjuni total dunia aktivis mahasiswa. Tercatat, ia merupakan aktivis Dewan Mahasiswa (Dema) Unila kala dipimpin Surya Adi, Komite Aksi Mahasiswa, Pemuda, Pelajar, Rakyat Lampung (KMPPRL) yang melambungkan nama Habiburokhman (kini Wakil Ketua Umum DPP dan Ketua Fraksi Gerindra MPR serta Ketua Komisi III DPR), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Unila, LMND Lampung era Azis Satriya Jaya, dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) Lampung era dipimpin Cahyalana dan Anwar Syarifudin.

EB kerap terlihat di barisan demonstran baik di sentra favorit Beringin Unila, depan kampus UBL, Tugu Adipura (Bundaran Gajah) Enggal, juga kompleks kantor Gubernur dan DPRD Lampung. Medio 1999 itu praktis hingga 2002.

EB sang aktivis, lalu pindah tugas demokratik ke Jakarta, menjadi bagian pimpinan pusat LMND dan juga PRD –terakhir sempat jadi Bendahara Umum KPP PRD.

Bilangan Tebet, Bundaran Hotel Indonesia, Patung Kuda, Silang Monas, depan Istana Merdeka, kompleks MPR/DPR/DPD Senayan, hingga sekretariat, kantor-kantor organisasi pergerakan mahasiswa, buruh, tani, rakyat miskin kota, gerakan perempuan, LSM, dan lainnya, jadi zona revolusioner EB di Jakarta.

Puncaknya, saat ia menjadi salah satu caleg DPR RI dapil Lampung I dari Partai Bintang Reformasi (PBR) pada Pemilu 2009. Saat itu, Partai Persatuan Nasional (Papernas), partai politik (parpol) Pemilu bentukan PRD gagal lolos verifikasi lalu melebur gabung ke PBR. EB gagal melenggang ke Senayan.

Kesemua, kegiatan berpolitik praktisnyi kurun 1999 hingga 2009 itu, perlahan ia tinggalkan.

Hingga tiga tahun kemudian, EB yang berkat pergulatan ulet dan jejaring pergaulannyi bersama pekerja seni budaya, pegiat teater, sastrawan, budayawan, para senfil hingga artis cum aktivis seperti aktris molek Happy Salma, jelita Olga Lydia, dan musisi progresif famili BJ Habibie, Melanie Subono; plus sederet produser dan sutradara film ternama.

Satu kabar terbetik, EB memulai babak baru dunia seni melalui jagat teater, 2012, melalui naungan Yayasan Partisipasi Indonesia. Dasar “alumni FKIP” kali ya, perempuan eksentrik ini memberangkatkan riwayat karir seni dari buah tekun hilir mudik menjadi: pembelajar.

Ia membuktikan minimal kepada diri sendiri, berhasil menyelami tetek bengek A sampai Z dunia teater juga dunia pertunjukan dengan mempelajarinya otodidak. Hingga kemudian tercatatlah ia jadi produser teater, memulai produksi pertunjukan teater rerata bertema sejarah dan kemanusiaan.

 

Jejak Filmografi EB

EB lantas mendirikan rumah produksi sendiri, KawanKawan Media, selain pendiri Yayasan Budaya Titimangsa bersama Happy Salma.

Debut EB menggembirakan. Film pendek layar lebar perdana yang ia produseri, On the Origin of Fear tayang perdana di Venice International Film Festival (Festival Film Internasional Venesia) 2016, berkompetisi pula di Festival Film Toronto, Clermont-Ferrand, bahkan raih penghargaan Special Mention dari Singapore International Film Festival; sekaligus tercatat menjadi sejarah debut ‘bukan kaleng-kaleng’ KawanKawan Media.

Dasar “alumni FKIP Unila” yang hoki, raihan tergenggam ini tak laju buat EB busung diri.

Pembaca, sampai sini ada yang mau jeda istirahat sejenak? Jika tidak, lanjut dengan sukses EB menggarap Istirahatlah Kata-Kata.

Terkesiap debut sukses pula, EB lalu terpacu meneruskan debut produserialnyi dengan memproduseri Istirahatlah Kata-Kata (Solo, Solitude), tahun yang sama. Film panjang layar lebar perdananyi.

EB bilang, ide pembuatan film berawal dari inisiatif membuat mural penyair Indonesia yang ia ikuti bersama penulis Okky Madasari dan aktivis hak perempuan Tunggal Pawestri.

Begitu memutuskan untuk memproduksinyi, ia gaet Yosep Anggi Noen memimpin proyek filmnya, lalu memproduseri bersama. Selain produser, Yosep Anggi Noen sekaligus penulis skenario dan sutradaranya.

Penata musik Yennu Ariendra, sinematografer Bayu Prihantoro Filemon, dan penyunting Andi Pulung Waluyo. Selain KawanKawan Media, terlibat produksi: Limaenam Films, Yayasan Partisipasi Indonesia, dan Yayasan Muara.

Saat mengembangkan film, Yosep Anggi Noen mengobservasi antara lain dengan membaca puisi-puisi Thukul, bersua teman-temannya.

Lantas, penulis Mumu Aloha mengembangkan cerita sebelum Noen menjadikannya skenario. Tim produksi lalu memutuskan latar Thukul diasingkan di Pontianak, Kalimantan Barat, fokus film ini.

Alkisah, film biopik “Istirahatlah Kata-Kata (Solo, Solitude)”, film independen berdurasi 97 menit bergenre drama biografi seputar penggal kisah hidup penyair revolusioner, pendiri Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) dan PRD, salah satu dari empat dan salah satu dari 13 aktivis korban penculikan 1997-1998 yang hingga detik ini masih belum kembali dan dinyatakan hilang: Widji Thukul.

Film yang judulnya diambil dari judul puisi karya Thukul penyair cadel ini, diaktori Gunawan Maryanto sebagai Widji Thukul, Marissa Anita sebagai Sipon (mendiang istri Thukul); Eduward Manalu sebagai Martin, Melanie Subono sebagai Ida, dan Davi Yunan sebagai Thomas (dosen, rekan Thukul).

Per sinopsis, film dwibahasa: Indonesia dan Jawa ini menceritakan kisah dramatis 8 bulan pelarian sekaligus persembunyian Thukul di Pontianak, usai PRD, seluruh kader, pimpinan bahkan simpatisannya dituding sepihak oleh rezim militeristik Orde Baru Soeharto sebagai dalang kerusuhan massa pascatragedi perebutan paksa kantor DPP PDI Pro-Mega, Jl Diponegoro 72 Menteng, Jakarta, Sabtu pagi 27 Juli 1996, top Peristiwa Sabtu Kelabu atau Tragedi Kudeta Berdarah 27 Juli (Kudatuli).

Tudingan rezim Soeharto dialamatkan usai pascadeklarasi pendirian PRD di kantor YLBHI Jakarta 22 Juli 1996 ditandai pembacaan Manifesto PRD oleh ketua umum Budiman Sudjatmiko –kini Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Kabinet Merah Putih, juga pembacaan puisi karya/oleh Thukul; kader PRD terlibat mimbar bebas di kantor DPP PDI Menteng.

Jauh sebelumnya, saat masih berbentuk ormas bernama Persatuan Rakyat Demokratik (1994), PRD aktif galang demonstrasi buruh, petani, mahasiswa di berbagai daerah, selalu jadi incaran target operasi intelijen hingga dicap “komunis gaya baru”.

Tragedi 27 Juli dijadikan rezim Soeharto guna mengkambinghitamkan PRD bahkan diikuti pernyataan PRD sebagai organisasi terlarang.

Kantor sekretariat PRD dan underbouw-nya di se-Indonesia disatroni, diacak-acak. Kader PRD diburu, ditangkap, diculik. Membekas, kader PRD Surabaya Nia Damayanti bahkan sampai keguguran usai disiksa oknum militer.

PRD pun tiarap. Ikut diburu, Thukul dalam persembunyiannya terus galang perlawanan. Dia melarikan diri ke Pontianak, 8 bulan di pengasingan. Dari 9 kader PRD yang diculik Maret-April 1998, lima selamat (dibebaskan), 4 dinyatakan hilang termasuk Thukul.

Film Istirahatlah Kata-Kata ini dibuka dengan narasi yang menerangkan awal pembentukan PRD yang melawan perundangan Orde Baru, yang cuma mengakui dua parpol (PPP, PDI) dan Golongan Karya.

Pascariot 27 Juli 1996, pentolan PRD diburu, ditangkap, dijadikan buron, dituduh sebagai dalang kerusuhan dan ingin menggulingkan pemerintahan sah Soeharto.

Dari Solo, Jawa Tengah tempat tinggal Widji Thukul dan Sipon istrinya, latar film bergeser beberapa ratus kilometer menuju Pontianak dan Sungai Kapuas. Bersama dosen Thomas, Thukul menumpang sembunyi di rumahnya.

Thukul mengakui “ternyata lebih menakutkan melarikan diri dan bersembunyi seperti ini daripada terang-terangan melawan sekumpulan orang dengan senjata.”

Peresensi menyebut film ini mengkritik kentalnya budaya militeristik era Orde Baru “dengan cara yang amat satir, cenderung lucu, dan cukup berbobot.”

Satu tokoh film ini, Udi, digambarkan sedang mondar-mandir di kampung kecil, bersepatu boots, celana tentara, tak jelas tujuan kemana seperti agak ada gangguan jiwa. Udi suka menakuti warga, jika dia bawa senjatanya, mereka akan ditembak.

Tokoh lain yang dimunculkan, saat Thukul yang perlu mencukur rambut keritingnya untuk menyamarkan penampilan sebelum beroleh identitas baru dengan nama Paul, lalu pergi ke pemangkas rambut asal Sampang, Madura bernama Mahmoud.

Thukul, telah duduk siap dicukur mendadak diminta mengalah tatkala seorang tentara pelanggan lama Mahmoud tetiba datang. Kata Mahmoud, harus didulukan. Dengan santai tentara ini bilang merupakan sebuah kehormatan dapat mencukur rambut tentara, maka semestinya tak perlu diminta bayaran.

“Keseluruhan nuansanya sunyi dan introvert. Pada dunia hari ini yang ultra ekstrovert dan sungguh gempita, setiap perkataan, puisi dan bunyi yang dipilih seksama menjadi sangat langka. Thukul dulu menyuarakan perlawanan lewat karya puisi, sebagaimana Pramoedya Ananta Toer melalui tulisannya,” kutipan resensi.

“Pada era prareformasi itu, kritik lewat puisi saja sudah dianggap subversif. Orang-orang yang vokal dengan gagasan demokrasi substantif dapat dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Mereka yang bertato, bisa kena operasi Petrus (penembakan misterius 1983-1984, red). Tembak di tempat karena dianggap preman yang meresahkan warga,” imbuh resensi.

Penulis Dea Anugrah di Tirto.id mengkritik film menggambarkan Thukul sebagai seseorang yang “berpaling dari Jawa, arena utama politik dan budaya di Indonesia” sambil “bersembunyi dalam ketakutan”. Dea bilang karakter Ida ngawur terhadap narasi film dan skenarionya sebagai “berlebihan”.

Memuji, menelisik fokus film: ketakutan dan paranoia Thukul; Adrian Jonathan Pasaribu (Cinema Poetica), menulis “paranoia diterjemahkan dengan indah dalam tata bahasa visual film”. Puji Adrian, karena “tidak meromantisasi Thukul sebagai semacam manusia super yang terkadang tak berdaya dalam perjuangannya melawan tirani dan ketidakadilan.”

Panos Kotzatanasi dari Asian Movie Pulse, mendedah “langkah yang sangat lambat dan kurangnya aksi dan dialog” film ini. Film ini “tak mudah untuk ditonton”, catat dia, “jika seseorang dapat mengatasi pembatasan ini” film ini “menemukan film yang sangat indah dan bermakna yang menyoroti manfaat ‘slow cinema’.

Clarence Tsui dari The Hollywood Reporter, menyoroti “gambar surealis” dari “urutan panjang kehidupan quotidian” dari film ini, membandingkan dengan By the Time It Gets Dark karya Anocha Suwichakornpong yang “menawarkan refleksi pedih kemanusiaan yang diambil dari sejarah Asia Tenggara.”

Jerih payah produksi film ini buahnya keren. Kembali menggembirakannyi, film ini beroleh penghormatan tayang perdana di Filmmakers of the Present, Locarno International Film Festival 2016 di Swiss, 9 Agustus 2016.

Sebelum akhirnya: menerima rilis teater terbatas, tayang di bioskop Indonesia per 19 Januari 2017. Termasuk di Lampung, di Mal Boemi Kedaton.

Juga panen sedikitnya 14 penghargaan. Selaku nomine 2016: Filmmakers of the Present Festival Film Locarno untuk sutradara, Filmfest Hamburg kategori Political Film Award untuk film, Pacific Meridian International Film Festival of Asia Pacific Countries kategori Grand Prix untuk film, Festival Film QSinema kategori Pylon Award untuk film, FFI 2016 (sutradara dan skenario asli terbaik).

Pada 2017: Usmar Ismail Awards untuk film, Piala Maya (aktor dan aktris utama terpilih), Asian Film Festival Barcelona kategori Official Section Award (Best Film) untuk sutradara.

Pemenang: Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2016 kategori Golden Hanoman Award untuk sutradara, Usmar Ismail Awards 2017 (sutradara terbaik dan aktor favorit), Festival Film dan Awards ASEAN 2017 kategori Special Jury Awards bareng ‘Ziarah’ BW Purbanegara.

EB sumringah, menemukenali film ini mengumpulkan 51.424 penerimaan dalam bulan pertama peluncurannya di Indonesia.

Meski bukan kesuksesan komersial, catat EB dalam wawancara Majalah Dewi 2 Mei 2017, jumlah itu mencerminkan penerimaan yang “luar biasa” dari penonton lokal untuk sebuah film independen.

Penggalan perih yang juga turut membikin EB bagian mereka yang turut kehilangan terkait relasi kesetiakawanan dan kemanusiaan atas Thukul dan keluarga, saat warta merta Dyah Sujirah (Sipon) istri Thukul wafat di Hermina Solo, 5 Januari 2023. Serangan jantung.

Semasa hayatnyi di kandung badan, Sipon termasuk salah satu inspirasi puisi Thukul.

Kesetiaan diri tidak saja sebatas sebagai pengampu status isteri, lebih dari itu juga kesetiaan diri sebagai sesama manusia merdeka yang menolak tunduk hormat pada kediktatoran penguasa lalim bin zalim berikut segala alas dan alat pemukulnya, membawa sesiapa pun yang rapi tercenung simak hebat kisah perjuangan hidupnyi bareng Thukul.

Mau pun kisah pencarian fisik dan pencarian keadilan hukum atas kasus penghilangan paksa yang menimpa suami tercinta ia, hampir dipastikan bakal mengangguk setuju. Bahwa Sipon, sejatinya perempuan penyala. Termasuk EB, dan KawanKawan Media.

Per filmografi, selain memproduseri On the Origin of Fear dan Istirahatlah Kata-Kata (Solo, Solitude) 2016, EB juga produser film pendek Ballad of Blood & Two White Buckets dan ko-produser film pendek Mist of the Past (2018), produser film pendek A Plastic Cup of Tea Before Her dan The Science of Fictions (2019), produser Hiruk-Pikuk si Al-Kisah dan dokumenter You and I (2020).

Ia juga ko-produser Whether the Weather Is Fine dan produser eksekutif film pendek Kisah Cinta dari Barat (2021), ko-produser Stone Turtle dan produser Autobiography (2022), produser 24 Jam bersama Gaspar dan ko-produser Tiger Stripes (2023).

Empat lagi yang EB produseri menanti jadwal tayang, Songsmith, Jilah and the Man with Two Names, Voice of Baceprot, Watch It Burn.

Maret 2023, EB masuk daftar perempuan paling berpengaruh di dunia versi Majalah Variety dalam rangka Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2023. Variety menyoroti pencapaian perempuan dunia dalam bisnis pertunjukan, dari membintangi film dan serial tivi paling mengesankan tahun 2022, hingga melakukan kesepakatan besar, memperluas cakupan konten, dan kontribusi nama terpilih bagi dunia hiburan internasional.

EB bertengger diantara nama top berbagai bidang, dari Alia Bhatt, Jade Osiberu hingga penyanyi Spanyol peraih Grammy, Rosalia.

Autobioghraphy yang EB produseri jadi satu-satunya film Indonesia bahkan Asia Tenggara yang tayang perdana di Festival Film Venice 2022, menjadi pula film darimana sorotan dunia tertuju padanyi kala itu.

“Menjadi produsen di Asia Tenggara berarti Anda harus lakukan semua pekerjaan sendiri, mulai dari pengembangan, pembiayaan, dan produksi hingga distribusi. Langkah terakhir, distribusi, adalah fase yang paling menantang bagi saya,” lugas EB menjawab Variety.

Distribusi di dunia film, imbuh EB, berbeda dengan teater. Saat memproduksi teater, pekerjaan akan selesai begitu tirai ditutup. Pada produksi film, semua baru dimulai saat film sudah dibuat. “Pekerjaan Anda baru dimulai saat film sudah dibuat,” mangkusnyi.

Jurnalis Parapuan Kompas, Arintha Widya, tajuk artikelnyi 5 Maret 2023, membaiat EB sebagai “produser film muda berprestasi dari Indonesia”.

 

Apresiasi

Turut apresiatif, Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya bilang keterlibatan EB dalam Critics’ Week merupakan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia sekaligus bukti nyata pegiat industri kreatif Tanah Air memiliki daya saing tinggi di kancah internasional.

“Kami bangga atas pencapaian Yulia Evina Bhara. Keterlibatan beliau sebagai juri di Critics’ Week tidak hanya mencerminkan kualitas insan perfilman Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan baru dalam sinema dunia,” ujarnya.

Seturut, sineas Tanah Air: sutradara Garin Nugroho, Riri Riza, Yosep Anggi Noen, Fajar Nugros, produser film Perlita Desiani, Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia, aktor Chelsea Islan, Chicco Jerikho, Sal Priadi, Wulan Guritno, Ayushita, Asmara Abigail melalui media sosialnya juga apresiatif, memuji terpilihnya EB menjadi juri Critic’s Week Festival Film Cannes 2025.

EB, masih kerabat pendiri/mantan Rektor UBL mendiang RM Barusman ayah Rektor UBL saat ini Prof Dr M Yusuf S Barusman, dan sepupu aktivis 98 alumni PRD Lampung lainnya kini dua periode anggota DPRD Lampung dari Partai Demokrat Deni Ribowo.

22 tahun merantau ke ibukota –EB sulung di keluarganyi, tahun ke-9 atau 13 warsa silam menekuni industri perfilman jadi produser, sesekali menyutradarai film garapannyi, kisah suksesnyi kini menjadi koleksi inspirasi.

Bagi mereka yang ingin meretas keterbatasan, melawan arus zona nyaman, ‘membunuh’ minder dan keder demi menembus pintu kesuksesan dunia tanpa batas, sebagaimana dedikasi EB dan tim melalui produksi film buat pemajuan dunia perfilman Indonesia.

Yulia Evina Bhara a.k.a EB, Rolling, Action! (Muzzamil)

Pos terkait