Sengketa Rumah Tunggu Tubang di Muara Enim: Ujian Keadilan dan Pelestarian Adat Semende
Bongkar Post, Muara Enim – Keputusan kontroversial Pengadilan Negeri Muara Enim yang memenangkan gugatan pembeli rumah tunggu tubang telah memicu kekecewaan mendalam di masyarakat Semende.
Kasus ini bukan sekadar sengketa properti, melainkan ujian krusial bagi penegakan keadilan yang berpihak pada pelestarian adat dan identitas budaya. Kamis (16/12025).
Rahul, putra pemilik rumah, telah mengajukan surat permohonan penundaan eksekusi rumah tunggu tubang di Desa Pulau Panggung, Kecamatan Semende Darat Laut, karena merasa keputusan pengadilan tidak adil dan tidak mempertimbangkan keputusan adat. Pihak keluarga juga sedang melakukan upaya hukum ke Polda terkait dugaan pemalsuan tanda tangan dan surat penunjuk tunggu tubang.
H. Taslim, Kepala Adat Semende, menyatakan keprihatinannya bahwa suara adat tidak cukup didengar dalam kasus ini. Rumah tunggu tubang, warisan turun-temurun yang diberikan kepada anak perempuan menjelang pernikahan, adalah simbol kehormatan keluarga, penanda status sosial, dan representasi nilai-nilai luhur adat Semende. Menjualnya sama halnya dengan mengkhianati identitas dan meruntuhkan fondasi sosial yang telah lama dijaga.
Seorang tokoh masyarakat sekaligus cendekiawan lokal menambahkan bahwa kasus ini menjadi alarm bagi pelestarian budaya, karena lembaga peradilan dinilai tidak mampu memahami dan menghargai kearifan lokal.
Sengketa ini bermula ketika Eriasman (yang kemudian meninggal dan gugatannya dilanjutkan oleh istrinya, Ermianti) mengajukan gugatan atas transaksi jual beli rumah tunggu tubang.
Pihak keluarga penjual bersikukuh bahwa penjualan tersebut cacat hukum karena bertentangan dengan prinsip-prinsip adat Semende.
Namun, Pengadilan Negeri Muara Enim memenangkan pihak pembeli, yang memicu spekulasi bahwa pengadilan lebih mengedepankan interpretasi hukum formal ketimbang mempertimbangkan aspek sosio-kultural.
Perlawanan dan Upaya Penyelamatan Adat
Rahul, didampingi oleh kuasa hukum Satria Jaya, S.H., berupaya meyakinkan pengadilan bahwa eksekusi rumah tunggu tubang akan menimbulkan luka mendalam bagi masyarakat Semende dan merusak tatanan sosial yang telah lama dijaga.
Satria Jaya menjelaskan bahwa pihaknya akan memanfaatkan semua celah hukum yang ada untuk membuktikan bahwa keputusan ini tidak adil dan tidak mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar, yaitu pelestarian adat dan budaya bangsa.
Kasus ini mencerminkan pergulatan antara modernitas dan tradisi, antara kepentingan individu dan kepentingan komunal. Masyarakat Semende berharap pengadilan dapat membuka mata hati dan memberikan putusan yang bijaksana, yang tidak hanya memenuhi rasa keadilan, tetapi juga menjamin keberlangsungan adat dan budaya yang menjadi identitas mereka.
Hingga saat ini, pihak Pengadilan Negeri Muara Enim belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini. Sementara itu, masyarakat Semende terus merapatkan barisan, menyuarakan aspirasi mereka, dan berharap agar keadilan dapat berpihak pada mereka. (*)