Saya Bukan Anggota DPR

Opini

 

Bacaan Lainnya

Saya Bukan Anggota DPR

 

Oleh: Apriyan Sucipto, SH, MH

(Pemerhati Sosial, Politik, Hukum, dan Budaya)

BAYANGKAN, setelah bertahun-tahun turun ke jalan, bersuara lantang di media sosial, mengkritik keras para penguasa, akhirnya kamu berhasil: masuk ke dalam sistem.

Kamu menjadi anggota DPR dengan semangat membara:

“Saya mau ajukan RUU yang benar-benar melindungi rakyat!”

Kamu sudah siap mengusulkan:

• RUU Rampas Aset Koruptor,

• RUU Reforma Agraria,

• RUU Perlindungan Buruh,

• RUU Batasan Gaji Pejabat.

Tapi sebelum satu huruf pun tertulis di naskah RUU, sistem menamparmu dengan keras. Selamat datang di kenyataan:

 

Tahap 1: Kamu Harus Dapat Restu Fraksi

Sebagai anggota DPR, kamu bukan wakil rakyat. Kamu adalah wakil partai.

Semua tindakanmu harus atas persetujuan fraksi.

Kalau partai bilang “jangan”, maka ide-ide idealismu dikubur bahkan sebelum dilahirkan.

Kalau nekat?

Bersiaplah di-PAW (Pergantian Antar Waktu). Karena kursimu adalah milik partai, bukan milikmu.

Di tahap ini saja, 80% idealismu sudah harus kamu telan mentah-mentah.

 

Tahap 2: Adu Nasib di Badan Legislasi

Misal fraksi mendukungmu, kini kamu harus berhadapan dengan Baleg (Badan Legislasi DPR).

Di sini, ratusan RUU bersaing. RUU darimu, rakyat kecil, akan ditaruh di barisan belakang — di belakang RUU pesanan sponsor dan oligarki.

Yang dinilai bukan penting atau tidaknya RUU bagi rakyat, tapi:

• Prioritas fraksi,

• Sejalan dengan program partai,

• Tidak mengganggu bisnis besar.

Kalau tidak sesuai?

Tamat.

 

Tahap 3: Bertarung di Prolegnas

RUU harus masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional).

Kalau tidak masuk daftar ini: • Tidak bisa dibahas,

• Tidak bisa diputuskan,

• Tidak bisa diparipurnakan.

Artinya?

RUU-mu hanya akan berdebu di folder Google Drive DPR.

 

Tahap 4: Lobi-Lobi di Komisi dan Panja

Jika lolos Prolegnas, pembahasan berlanjut di Komisi dan Panitia Kerja.

Tapi ini bukan lagi perdebatan ideologis.

Ini: • Lobi antar fraksi,

• Deal-deal politik,

• Tarik-menarik kepentingan.

Pasal-pasal bisa dicoret, ditambah, diganti — bukan karena substansi, tetapi karena tekanan sponsor, korporasi, atau oligarki.

 

Tahap 5: Voting yang Sudah Diatur

Saat rapat paripurna, kamu pidato dengan penuh semangat.

Tapi anggota DPR lain?

• Main HP,

• Tidur,

• Ngobrol.

Karena?

Semua keputusan sudah dikunci oleh fraksi masing-masing.

RUU-mu bisa ditolak dalam 10 detik, tanpa dibaca.

 

Tahap 6: Rakyat? Cuma Penonton

Bagaimana dengan rakyat?

• Tidak dilibatkan,

• Tidak diberi akses dokumen,

• Tidak diajak berpartisipasi.

Rapat-rapat diselenggarakan dengan bahasa hukum yang rumit, tanpa sosialisasi yang memadai.

Ketika rakyat marah?

Mereka hanya dianggap “tidak paham hukum.”

 

Tahap 7: Presiden Bisa Menolak

Kalaupun RUU kamu lolos semua tahap di DPR, Presiden tetap bisa menolak menandatangani.

Dan tanpa regulasi turunan, tanpa anggaran pelaksanaan, UU itu hanyalah kertas kosong.

Kesimpulan: Sistem Ini Dirancang Agar Rakyat Tidak Pernah Menang

• RUU yang membela rakyat bisa gagal di seribu titik,

• Butuh waktu 10 tahun lebih untuk sekadar disahkan,

• Tapi RUU pesanan oligarki?

Masuk pagi, Dibahas sore, Disahkan malam.

Demikianlah.

Mungkin saat ini kamu bukan anggota DPR.

Tapi memahami betapa peliknya perjuangan di dalam sana adalah langkah pertama untuk perubahan yang nyata.

Selamat berakhir pekan.

Salam Lestari, Salam Konservasi!

Pos terkait