JENIUS – Kiai Haji Bukhori Masruri alias Ali Abu Haedar (kiri) dan Vangeliya Pandeva Gushterova alias Baba Vanga (kanan). | dok/Muzzamil
BANDARLAMPUNG, BONGKARPOST.CO.ID — Dunia hari ini, era disrupsi digital ala rezim Revolusi Industri 4.0 dengan segala piranti keunggulan kompetitifnya: internet of thing, mahadata, otomasi robotik, komputasi awan, kecerdasan buatan, dan tetek bengeknya, telah turut diramalkan secara jenius sejak tahun 1982 silam salah satunya oleh orang Indonesia, lewat lagu.
Ulama cum seniman, mantan Ketua NU Jawa Tengah wafat Mei 2018, dia Kiai Haji Bukhori Masruri bernama pena Ali Abu Haedar.
Dia pencipta lagu genre dangdut kasidah “Tahun 2000” dipopulerkan grup kasidah legendaris asal Kota Semarang, OM Nasida Ria, lagu yang kelak kini 43 tahun kemudian relevan, bermakna visioner mendalam tentang perubahan dan tantangan di masa depan, mengilustrasikan harapan dan pengharapan besar serta ancaman tantangan hambatan gangguan akbar, dan perubahan raksasa mendasar di tengah kehidupan rakyat berikut dengan perkembangan teknologi, perubahan sosial ekstrem pada tahun awal milenium, tahun 2000. Silam.
Per lirik: “Tahun 2000, tahun harapan. Yang penuh tantangan dan mencemaskan. Wahai pemuda dan para remaja. Ayo siapkan dirimu. Siapkan dirimu, siap ilmu, siap iman. Siap.”
“Tahun 2000, kerja serba mesin. Berjalan berlari menggunakan mesin. Manusia tidur berkawan mesin. Makan dan minum dilayani mesin. Sungguh mengagumkan tahun 2000. Namun demikian penuh tantangan.”
“Penduduk makin banyak, sawah ladang menyempit. Mencari nafkah makin sulit. Tenaga manusia banyak diganti mesin. Pengangguran merajalela. Sawah ditanami gedung dan gudang. Hutan ditebang jadi pemukiman. Langit suram, udara panas akibat pencemaran. Wahai pemuda remaja sambutlah. Tahun 2000 penuh semangat
Dengan bekal ketrampilan, serta ilmu dan iman.”
“Tahun 2000 kerja serba mesin. Berjalan berlari menggunakan mesin. Manusia tidur berkawan mesin. Makan dan minum dilayani mesin. Sungguh mengagumkan tahun 2000.”
“Namun demikian penuh tantangan. Penduduk makin banyak. Sawah ladang menyempit. Mencari nafkah makin sulit. Tenaga manusia banyak diganti mesin. Pengangguran merajalela. Sawah ditanami gedung dan gudang. Hutan ditebang jadi pemukiman. Langit suram udara panas. Akibat pencemaran.”
“Wahai pemuda remaja sambutlah. Tahun 2000 penuh semangat. Dengan bekal ketrampilan. Serta ilmu dan iman. Bekal ilmu dan iman. Bekal ilmu dan iman. Bekal ilmu dan iman.”
“Gua masih “piyik” (belia) waktu lagu itu top dulu. Suka denger di radio apalagi kalo dah mau magrib. Liriknya bisa pas gitu. Bukti yang nyiptain emang orang jenius, kiai pula. Orang yang ditokohkan. Salut gua. Poin pentingnya? Ajakan biar kita bekali diri dan keluarga kita dengan ilmu dan iman. Berpeganglah pada Quran dan Hadist,” ujar komentar pagi-pagi, Kang Yumi, 24 Juni 2025.
Selasa pagi, Kang Yumi, demikian sapaan karib Hayumi, pria berdarah Banten lama mukim di Lampung, mantan Ketua Konsorsium Pengangguran Lampung (Kopel) 2001–2003, kini Sekjen DPP Perguruan Pencak Silat Singa Manda Pandawa Lima Indonesia berpusat di Kota Serang, Banten, menyerukan anak muda Indonesia untuk jangan mau berlama-lama “latah” menjadi target pasar teknologi digital.
Melainkan, “Ikut nyemplung, ikut andil. Semua harus memaksa diri bukan cuma beradaptasi doang, ya, tapi kuasai teknologi, kuasai sains. Quran dan Hadist jadiin panduan. Harus yakin Allah Subhanallahu Wa Ta’ala itu dah ngonci (mengunci, red), kita tinggal jalani,” ujar pria pegiat Forum Astadidz Mubaligh Banten ini.
“Jangan mau cuma bisa joget-joget di TikTok. Tapi join jadi afiliator, dagang, belajar bahasa asing, belajar coding, banyakin oprek produk teknologi, banyak kan itu. Itu gua rasa pesan lagu Tahun 2000,” pungkas Kang Yumi, kini juga Kepala Biro Bongkar Post Grup Banten.
Bagaimana Dengan Ramalan Baba Vanga?
Terpisah, bagaimana dengan ramalan viral Baba Vanga, sebut saja Mama Laurens-nya Bulgaria, soal perang dunia ketiga di muka bumi, peperangan hebat, peperangan babak bingkas modern era Revolusi Industri 4.0, yang kini dari fakta mengguncang ketegangan meruncing yang lantas ‘meletus balon hijau’ nyaris sempurna bentuk: terjadi!; yang Baba Vanga ramalkan sebelum ia wafat 1996 silam?
Pembaca, demi untuk tidak ahistoris, seperti disaripatikan dari sejumlah sumber, salah satunya literatur Israeli-Iranian Relations (Marta Furlan: 2022) dalam sejarah keduanya: Iran dan Israel dahulu notabene sohib. Kance.
Lalu hingga berubah jauh, jauh berubah, jadi amit-amit satu sama lain. Salaman pun ogah.
Semua bermula semenjak Israel proklamirkan diri sebagai negara berdaulat, di kota ibukota negaranya kini Tel Aviv pada 14 Mei 1948. Saat itu, karuan negara-negara Jazirah Arab yang hampir seluruhnya berpopulasi mayoritas Muslim berbondong menentang berdirinya.
Baru brojol langsung jadi diplomat menonjol, Israel lobi sana kemari. Bersegera lancarkan jurus selangkah tiga goyang, segala kata syahdu, semua bujuk rayu, Israel kerahkan.
Demi pertama: meredam potensi konflik imbas perlawanan demi perlawanan demi perlawanan menentang kehadirannya.
Demi kedua: mencari simpati regional dan juga internasional (termasuk merayu Bung Karno demi mendapatkan simpati Indonesia tetapi dicuekin —hingga kelak Indonesia sampai kehilangan kesempatan jadi juara Piala Dunia lantaran selaku juara grup Asia harus bersua Israel selaku juara grup lainnya).
(sekaligus) Demi ketiga: uji pembuktian mana yang bisa jadi sekutu —strategis di masa depan pun sementara demi pengakuan kedaulatannya—, dan mana yang memang susah dipersekutu alias bakal jadi seteru —idem, strategis di masa depan pun bahkan selama Israel ada (seteru ideologis), maupun sementara baik demi, baik untuk, dan baik untuk dan atas nama dalih motif geopolitik sewaktu atau tertentu lainnya.
Uji pembuktian itu antara lain dengan ajuan proposal kerja sama bilateral. Apapun. Dan singkat cerita, dalam fase inilah, Iran termasuk yang menjadi salah satu yang menerima dengan tangan terbuka. Ciee.
Jika kelak, 55 tahun setelah proklamasi 1948, Israel sepertinya termasuk yang baru tahu bahwa Indonesia notabene dangdut is the music of my country alias negara dangdut; saat Project Pop mempopulerkannya 2003.
Maka saat Iran menerima uluran tangannya itu, Israel disambut Iran (meminjam istilah judul lagu reggae asal Indonesia) dengan sukaria: welcome to my paradise.
Iran yang saat itu di bawah kepemimpinan Shah Mohammad Reza Pahlavi yang disebut condong pro-Barat, menjabat erat tangan Israel dengan bungkus proposal kerja sama diplomatik. Reza disebut telah meneropong masa depan cerah negerinya bila gamit erat Israel. Warsa 1953.
Rupanya, kekuatiran akut atas pengaruh ideologis bahkan agresi hingga aneksasi militer Uni Soviet di Timur Tengah di mana bukan tidak mustahil termasuk Iran juga sewaktu-waktu bisa bernasib demikian bahkan ekstremnya hingga dipengaruhi komunisme Soviet. Menjadi dalih, di balik. Ketakutan Reza.
Hingga kemudian, sah lulus status balita, lalu Israel pun sibuk bersolek, janjian cengkerama eratkan kerja sama ekonomi Israel-Iran, pun hingga Iran beberapa kali dapatkan proyek menggiurkan hasil kerja sama Israel dengan sekutu utamanya berjuluk ‘polisi dunia’, negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Berbuah logis pendapatan Iran melesat hingga lantas Iran lebih jauh terlibat kerja sama militer erat.
Wah wah, Iran pun rungkat. Pun hingga kurun dasawarsa 60-an, saat duet Iran dan Israel menganggap negara jiran berbatasan, Irak, sebagai ancaman bersama kedua sahabat.
Iran – Israel, lantas diketahui turut berada di balik dan aktif membantu gerakan Suku Kurdi di Irak Selatan yang memberontak. Tak cuma dar der dor bantu suplai persenjataan berat, kedua negara disebut pula hingga sampai join bareng membunyikan “blum siuuuu.. dhuaar!” menggarap persenjataan rudal bersama.
Jauh dari semat tagar #berkawanselamanya, abai pesan inti lagu duet Iwan Fals dan Rafika Duri: “kemesraan ini janganlah cepat berlalu”; usai bersohib ria —kance, bersahabat dekat kurang lebih 20 tahun lamanya, alias pada saat picu aksi sepihak penindasan represif Israel terhadap diri tanah bumi dan rakyat Palestina sebagai negara merdeka berdaulat yang sangat dibela oleh negara Muslim di seluruh dunia; termasuk Indonesia yang bahkan telah didukung Palestina setahun sejak sebelum Indonesia merdeka 1945!
Israel merudapaksa Palestina berulangkali. Dengan teror bedil. Dengan serangan fisik. Dengan bombardir rudal. Dengan pengusiran. Dengan pengucilan. Dengan pembunuhan demi pembunuhan warga sipil. Hukum santuy ala Indonesia warisan jajahan Jepang “satu kali dua puluh empat jam tamu harap lapor RT” sama sekali tak berlaku bagi Israel.
Dunia lalu murka: Israel kau durjana. Hingga, angkara murka tak ayal juga menjelajahi termasuk salah satunya Iran sang sekuler, ditandai dengan yang dikenal dikenang kemudian sebagai Revolusi Iran 1979.
Kali ini, Israel rungkad. Simbiosis mutualisme dengan Iran —ujar pelajaran Biologi itu bak kutu dengan kebo; terpaksa harus ganti kaset.
Kali ini semirip suasana kebatinan tertangkap dari bait lagu rock karya Areng Widodo dan Jockey Suryoprayogo, juga dipopulerkan lady rocker asal Bandung Nicky Astria tahun 2000, “Biar Semua Hilang”.
“Akhirnya semua telah sirna. Getar asmara pun pudar di dalam dada. Dan di antara kita telah tak ada. Rasa saling seiya sekata. Hari ini atau esok lusa. Kita kan berpisah untuk selama-lamanya. Agar takkan lagi kurasa. Duka derita hidup bersama. Usah lagi perpisahan jadi beban di hati. Takkan lagi ada harapan kita tuk kembali. Biar semua hilang. Bagai mimpi-mimpi. Biar semua hilang. Usah kau sesali.”
Saat itu, status teman tapi mesra keduanya, bubar jalan. Revolusi Iran 1979: penggulingan paksa Reza Pahlavi dari tahta kepemimpinan monarki, sekaligus merevolusi bentuk dan ideologi negara menjadi Republik Islam Iran.
Ulama berani, Ayatollah Ruhollah Khomeini tampil memimpin. Revolusi Iran 1979 lantas tercatat mematik perubahan gigantik di Timur Tengah, fundamental mengubah lanskap geopolitik kawasan, secara diametral memicu ketegangan forensik dengan Barat terutama Amerika Serikat, yang antara lain kemudian terbujur tiada jeda sepanjang Perang Iran-Irak 1980–1988 dipicu invasi Irak atas Iran saat militer Irak memasuki Iran 22 September 1980 gegara sengketa perbatasan berlarut.
Revolusi Iran 1979 sekaligus mengilhami dan menjadi poros pemodelan baru bagi gerakan Islamis seluruh dunia. Yang oleh Iran sendiri, secara persisten hingga kini terus dibuktikan dengan menjadi salah satu negara di dunia yang super galak terhadap negara super power Amerika Serikat, tak ayal berikut pula terhadap bekas sohibnya, Israel.
Sama-sama “benci”, bila 1953–1979 dulu itu singkatan pelesetan dari benar-benar cinta, lantas usai bagi Iran, bak bilang “Israel, kau patgulipat”, sebaliknya Israel mencap Iran: “kau khianat”, lalu kemudian berkebalikan berdemarkasi ideologis semenjak 1979–kurun saat ini, menjadi benci betulan.
Dulu adu senyum kini adu bandul pendulum, dulu duet kini duel, Iran disokong Rusia versus Israel didukung Amerika Serikat dan sekutu Barat saling adu kuat, adu pengaruh kawasan hingga terlibat beraneka ragam tegang hebat.
Terus saja konsisten menjalankan konfrontasi terbuka, senyampang itu Iran tumbuh agresif mewujud menjadi bagian dari penyokong dan pendukung jaringan poros perlawanan global kelompok-kelompok politik garis runcing dan kelompok bersenjata mulai dari Irak, Lebanon, dan Suriah, bahkan hingga Yaman.
Sebaliknya, Israel juga konsisten menjalankan konfrontasi senada melalui ragam aksi-aksi sabotase bengis pun spionase karkhas Zionis.
Hingga tiba satu ketika. Kota Damaskus, Suriah, Timur Tengah, 1 April 2024, dari sana koreng lama dibuka. Oleh Israel. Kali ini tergolong provokasi paling nekad.
Tiada angin tiada hujan, tetiba Israel serang gedung Konsulat Iran di Damaskus hingga menewaskan tujuh petugas termasuk dua komandan senior Garda Revolusi Iran, hari itu.
Di kota As-Sam (Suriah dan negara Arab menyebutnya), atau Madinat al-Yasmin atau Kota Melati (karena keindahan melati yang bejibun di kota peradaban tua ini) atau sebutan lain al-Fayḥa (yang harum) yang barangkali berasal dari kesegaran kebun buah-buahan dan taman sekitar Damaskus.
Benar-benar marah besar Iran pun berkobar. Membalasnya dengan serangan balik: lebih dari 100 drone Iran mengudara masuk wilayah Israel sejak 13 April 2024.
Barangkali jutaan, rekam jejak peristiwa ini juga bertubi mendentum speaker gawai warganet. Pewarta pernah saksikan sendiri, seorang ojol roda dua di Bandarlampung, offbid, tengah asyik menatapi video amatir peristiwa itu di gawainya. Begitu diintip, “Apa sih bang,” gusar spontan si ojol risih. Pewarta malah jadi ikutan asyik. Lalu kami terkekeh.
Saling serang rudal drone Iran-Israel ini seperti kita ketahui memuncak saat Israel menyerang fasilitas nuklir dan militer Iran, Jumat 13 Juni 2025 pukul 03.30 waktu Iran dan seterusnya, menewaskan lebih dari 220 warga hingga 20 Juni versi otoritas kesehatan Iran. Iran balas serangan udara ke wilayah Israel, Amerika ikut menyerang kemudian, membom tiga instalasi militer dan situs nuklir bahkan disebut-sebut sentra pengayaan uranium, pun Rusia sohib Iran ikut mendelik, hingga seterusnya dan seterusnya hingga kini.
Sengau aroma desing “blumm, siuu.. dhuaar!” perang rudal ini pun turut “tercium” baunya hingga Indonesia. Presiden Prabowo Subianto beserta otoritas Indonesia pun resmi bersikap sebagai negara berdaulat si empunya garis politik luar negeri bebas aktif.
Pun berikut memberikan insight kepada rakyat Indonesia soal potensi dampak multidimensinya dan upaya mitigasi risikonya kini kedepan andai secara tak tertolak dan tak terbantahkan menjelma senyatanya menjadi Perang Dunia ke-3, semoga disemogakan jangan sampai dan semoga disemogakan tidak. Meletus.
Di tengah ketegangan picu Iran-Israel itu, di tengah keprihatinan multinasional terhadap mewujud nyata —menyatanya Perang Dunia ke-3 itu, sekonyong-konyong ramalan dari peramal buta kesohor asal Bulgaria, Baba Vanga, sekian tahun silam menyeruak jadi topik utama perbincangan pokok warganet.
Baba Vanga, terlahir prematur 3 Oktober 1911 bernama Vangeliya Pandeva Gushterova, buta sejak kecil bermata cokelat berambut pirang, habiskan sebagian besar hidupnya di Rupite, pegunungan Kozzhuh, Bulgaria.
Sang ayah, veteran wajib militer Perang Dunia pertama, “ngeh” putrinya cerdas dibanding sebayanya saat Vanga sendiri memikirkan permainan, suka bermain “healing” —beri resep herbal teman-teman ia yang pura-pura sakit. Si ayah duda sejak ibu Vanga wafat saat perang.
Bulgaria dicaplok Yugoslavia, sang ayah ikut ditangkap militer Yugo, akhirnya keluarga ini jatuh miskin. Kelak si ayah sudahi masa duda.
Peristiwa titik balik hidup Vanga berdasarkan kesaksiannyi sendiri, terjadi saat ‘tornado’ diduga hempaskan tubuhnyi ke udara dan melemparkannyi ke tanah lapang terdekat. Vanga ditemukan usai pencarian panjang: (menurut saksi mata) ia sangat ketakutan, matanyi tertutup debu dan pasir, Vanga tak bisa membukanya ulah rasa sakit. Lalu naas penglihatannya kabur bertahap menghilang mendera Vanga si mata cokelat.
Dengan kondisi pilu, Vanga si buta putri dari Pando Surchev dan Paraskeva Surcheva ini, lalu bersekolah menengah pertama tunanetra di Kota Zemun di Kerajaan Serbia, Kroasia, dan Slovenia (alias Yugoslavia) dan belajar Braille, bermain piano, merajut, memasak, bersihkan lingkungan, kurun 1925–1928.
Vanga pun harus kembali ke rumah merawat adik-adiknya dengan kondisi keluarga sangat miskin, dan ia harus bekerja sepanjang hari. Pascakematian sang ibu tiri. Saat 28 tahun, ia divonis dokter menderita pleuritis. Diagnosa dokter, Vanga akan segera mati, meleset. Vanga justru cepat pulih.
Saat ia kepala tiga, saat Yugoslavia diserang, dikavling Blok Poros dan Strumica dianeksasi Bulgaria selama Perang Dunia II, Vanga si buta cerdas pekerja keras ini mulai mengundang perhatian orang yang mulai mempercayai kemampuannyi menyembuhkan orang lain berikut kemampuannyi meramal (soothsay) —berkat indera keenamnyi, sejumlah orang mengunjunginyi berharap beroleh petunjuk apakah kerabatnya masih hidup, atau cari tempat di mana dimakamkan, dan lainnya.
Hal yang juga memilukan Vanga dan adiknyi, kala pacar pertamanyi —Pando Surchev sang ayah, wafat pada 8 November 1940.
Tahun berganti. Ketenaran Vanga sang soothsayer bahkan mengundang Tsar Bulgaria Boris III yang juga minta diramal, pada 8 April 1942. Sebulan kemudian giliran tentara Bulgaria asal Desa Krandzhilitsa dekat Petrich, Dimitar Gushterov, yang sebelumnya datang meminta pembunuh saudaranya nun harus berjanji padanya tak balas dendam; resmi jadi ‘Tsar’ dalam biduk rumah tangga Vanga (suami), menikahinyi 10 Mei 1942.
Dimitar memboyong Vanga pindah ke Petrich sesaat sebelum menikah, Vanga pun menjadi tenar di sini. Sang suami lalu ikut wajib militer, harus habiskan waktu di Yunani Utara yang dianeksasi Bulgaria saat itu. Kelak Dimitar didera penyakit tahun 1947, jatuh ke dalam alkoholisme, kelak wafat 1 April 1962.
Vanga? Terus mengharum. Tidak saja rakyat jelata berbondong padanyi meminta diramal, banyak pula pejabat, dalam catatan Wikipedia disebut setelah Perang Dunia II, selain para elit Bulgaria kabarnya termasuk Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet Leonid Brezhnev, pernah menemui Vanga mencari nasihat! Bagi penyuka paham kiri, ini menarik. Pemuja materialisme, menjajal hal metafisik.
Terus memiliki pengagum, katakanlah fans, yang minimal pernah satu kali kunjungi ia, uang tanda terima kasih yang ditinggalkan para pengunjungnya, oleh Bogdan Tomalevski dibangunkan gereja di Rupite, era 90-an.
Sebelum, gerogotan kanker payudara buat Baba Vanga sang soothsayer menyerah jua, wafat di usia 85 tahun, 11 Agustus 1996 silam.
Tak untuk menyebutnya “legasi”, nun salah satu ramalannyi yang mengemuka lagi dikulik banyak orang lintas generasi lintas teritori jauh usai wafatnyi. Soal Perang Dunia ke-3.
“Begitu Suriah jatuh, akan terjadi perang besar antara Barat dan Timur. Pada musim semi, perang di Timur akan dimulai dan akan terjadi Perang Dunia ketiga. Perang di Timur ini yang akan menghancurkan Barat,” ramal Baba Vanga dahulu itu.
Dan dari Indonesia, seperti dikutip cuplikan keterangannya dihadapan tujuh Pemimpin Redaksi terundang: Alfito Deannova Gintings (detikcom); Lalu Mara Satriawangsa (tvOne); Najwa Shihab (Narasi); Retno Pinasti (SCTV-Indosiar); Sutta Dharmasaputra (HU Kompas); Uni Lubis (IDN Times); dan Valerina Daniel (News Anchor TVRI, moderator).
Saat itu, dihadapan “konferensi meja bundar” di perpustakaan kediaman pribadinya di Padepokan Garuda Yaksa, Desa Bojong Koneng Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor Jawa Barat (tenar Hambalang), Minggu 6 April 2025 lalu.
Saat tiba bahasan diskusi situasi geostrategi global terkait forecasting ketegangan fisik poros Amerika dan sekutunya versus Iran dan Rusia sekutu strategisnya, baurannya dengan kebijakan tarif resiprokal rilisan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang jadi senjata ekonomi newbie pascaterpilih. [Sebagai disclaimer: ini mesti dipahami kontekstualitasnya secara utuh kendati berupa penggalan keterangan]
“Ini tidak main-main. Bener-bener. Saya pelajari, saya lihat tiap malam, wah is very dangerous, very dangerous time (sangat berbahaya). Amerika siap mau nyerang Iran, Rusia mengatakan “jangan nyerang Iran!, kalau nyerang Iran, berhadapan dengan saya (Rusia).” What does it mean (ini artinya apa), masalah Iran nanti Perang Dunia ketiga.”
“Dan kita sudah nonblok, kita sudah benar. Kita non blok aja, kita akan kena. Mungkin yang negara-negara punya nuklir, ya, dia matinya lebih cepat. Kita mungkin, mati juga tapi lama, kita matinya, iya kan. Bener nggak? Betul, jadi it’s dangerous time. We are living, kita hidup dalam (situasi demikian). Nah kita harus hati-hati,” demikian wanti Presiden Prabowo Subianto, dimaksud, exactly.
Di penjuru Bumi manapun: dengan atau tanpa gencatan; perang cuma mewariskan tangis ibu, juga pampasan. Dari itu untuk dan atas nama kemanusiaan, hentikanlah. (Muzzamil)
									
											





