PT Tebo Alam Lestari Diduga Kuasai 7.000 Hektare Lahan Tanpa HGU

PT Tebo Alam Lestari Diduga Kuasai 7.000 Hektare Lahan Tanpa HGU

 

Bacaan Lainnya

Bongkar Post, Jambi –

PT Tebo Alam Lestari (TAL) diduga menguasai sekitar 7.000 hektare lahan sawit di Kabupaten Tebo tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan ini disebut hanya memiliki izin lokasi yang terbit pada 2012 serta izin usaha perkebunan (IUP) seluas kurang lebih 5.000 hektare, namun hingga kini HGU resmi belum diterbitkan.

Sebagian areal yang dikelola perusahaan berada di kawasan hutan dan konservasi di sepanjang aliran sungai. Kondisi tersebut dinilai berpotensi melanggar tata ruang sekaligus aturan lingkungan hidup.

Selain itu, PT TAL juga diduga terlibat praktik penggelapan pajak sejak 2016 hingga sekarang. Perusahaan disebut menggandeng Koperasi Khurnia sebagai mitra, namun koperasi ini dinilai hanya aktif secara administratif. Sementara operasional produksi dan penjualan tetap sepenuhnya dikendalikan PT TAL.

Laporan masyarakat yang disampaikan ke pihak berwenang memuat sedikitnya 10 poin dugaan pelanggaran. Isinya mencakup pengalihan lahan kemitraan, penguasaan lahan tanpa melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga praktik kepemilikan fiktif.

Organisasi Pemantau Tebo Alam Lestari (PETRAL) menegaskan akan terus mengawal persoalan ini dan mendesak instansi penegak hukum segera mengambil tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran tersebut.

 

Analisis Masalah & Dampak

Dari fakta-fakta tersebut, ada beberapa masalah struktural dan konsekuensi yang harus diperhatikan:

1. Legalitas dan Kepastian Hak Tanah (HGU)

Tidak memiliki HGU sementara menguasai lahan luas menimbulkan ketidakpastian hukum.

Keberadaan izin lokasi/IUP saja tidak menggantikan HGU, terutama dalam jangka panjang, dan untuk kepastian investasi dan pertanggungjawaban.

2. Potensi Pelanggaran Lingkungan & Tata Ruang

Jika sebagian lahan berada di kawasan konservasi atau sungai, hal ini bisa melanggar peraturan lingkungan, mengganggu ekosistem, dan memunculkan kerusakan lahan maupun sungai.

Keterkaitan antara izin dan zonasi sangat penting; bila izin berada di zona yang tidak sesuai (contoh: kawasan lindung), maka izin tersebut bisa dibatalkan atau dipersoalkan secara hukum.

3. Penggelapan Pajak / Potensi Kerugian Negara

 

Klaim penggelapan pajak dalam jangka waktu panjang menunjukkan adanya potensi kerugian bagi negara daerah dan pusat.

Jika benar, pelaku (perusahaan dan pihak terkait) harus diproses sesuai hukum perpajakan serta pidana pajak.

4. Hubungan Perusahaan — Koperasi Mitra & Praktik Mitra Tak Jelas

Model “koperasi administratif” seringkali digunakan sebagai alat legalitas semu agar operasional tetap dikelola oleh perusahaan besar, sementara mitra lokal dirugikan.

Praktik alih fungsi lahan masyarakat menjadi lahan perusahaan melalui pola mitra yang tidak transparan adalah modus yang kerap terjadi dalam konflik agraria.

5. Pengabaian Institusi Pertanahan / BPN

Bila penguasaan lahan dilakukan tanpa melibatkan BPN (pendaftaran, pengukuran, pemberian hak), hal ini melemahkan peran negara dalam pengaturan dan pengendalian agraria.

BPN sangat penting sebagai otoritas teknis untuk memastikan legalitas hak atas tanah dan menghindari konflik.

6. Aspek Tanggung Jawab Sosial & Keadilan Publik

Jika masyarakat bermitra dirugikan atau lahan masyarakat dialihkan, akan lahir ketidakadilan sosial, konflik agraria, dan ketidakpercayaan publik terhadap pihak pengelola investasi.

 

Tanggapan Kritis & Rekomendasi

Berdasarkan analisis di atas, berikut tanggapan dan rekomendasi yang tajam:

1. Penegakan Hukum Harus Tak Pilih Kasih

Aparat penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, Pemeriksa Pajak) harus membuka penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran ini berdasarkan laporan masyarakat. Tidak cukup hanya menunggu; harus ada tindakan nyata.

Bila terbukti, perusahaan harus dikenakan sanksi administratif, pajak, serta pidana sesuai undang-undang (pajak, lingkungan, agraria).

2. Audit Independen & Transparansi Data

Perlu audit independen atas dokumen izin, pendaftaran tanah BPN, perpajakan, dan operasional perusahaan.

Publik dan pemangku kepentingan berhak mendapatkan akses terhadap dokumen izin, HGU, IUP, data pajak, peta konsesi, batas kawasan hutan, dsb.

3. Validasi Keterlibatan Masyarakat

Investigasi apakah masyarakat lokal telah dirugikan melalui pola mitra yang tidak transparan.

Jika ada alih fungsi tanah masyarakat secara sepihak atau tanpa kompensasi yang adil, harus ada restitusi (pengembalian) atau ganti rugi sesuai hukum agraria.

4. Penertiban Zona Konservasi & Tata Ruang

Tinjau kembali status lahan yang diklaim berada di kawasan konservasi / sepanjang sungai. Bila benar, maka izin tersebut harus dicabut atau dipulihkan kondisi alamnya.

Pemerintah daerah harus memperkuat pengawasan tata ruang, pembagian zona, dan penegakan sanksi bagi pelanggar.

5. Peningkatan Pengawasan Pemerintah Daerah & BPN

BPN harus memastikan bahwa setiap pengelolaan lahan besar ditunjang dokumen legal (sertifikat, pendaftaran, batas peta).

Pemerintah daerah perlu memperkuat fungsi pengawasan penerimaan pajak daerah atau retribusi sumber daya alam agar penggelapan tidak terjadi.

6. Publikasi & Keterbukaan Informasi

Pemda, lembaga pengontrol, dan masyarakat harus didorong untuk bersikap terbuka: mempublikasikan data izin lahan, peta konsesi, dan audit pajak agar masyarakat bisa ikut memantau.

Pengawasan publik dan LSM lingkungan/agraria sangat penting sebagai pengimbang.

7. Perlindungan Lingkungan & Pemulihan

Jika ada kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan, harus ada program pemulihan (restorasi ekosistem, reklamasi, perlindungan bantaran sungai, penghijauan).

Pastikan bahwa operasional perusahaan memenuhi standar AMDAL / UKL-UPL dan tidak merusak kawasan kritis.

(Nazli: Aktivis Lingkungan Jambi)

Pos terkait