Opini
Menilai Itu Mudah, Berpikir Itu Butuh Proses*
Dengan menilai membuat kita merasa lebih unggul, dengan menilai membuat kita merasa lebih baik, lebih pintar atau merasa paling benar. Itu memberikan kita kepuasan instan dan ego. Tapi dengan berpikir bisa meruntuhkan ego kita, karena tidak semua orang siap untuk itu. Tidak semua orang mau mengambil jalan sulit itu.
Manusia yang malas berpikir, dia akan lebih suka jalan pintas dan menilai.
Berpikir membutuhkan kerendahan hati, dan berpikir secara mendalam berarti kita harus siap melepaskan ego kita dan mengakui; kita mungkin belum tahu segalanya, serta kita harus siap membuka diri terhadap ide yang mungkin menurut kita ide gila yang bisa saja membuat kita tidak nyaman, atau membuat kita langsung menilai takut akan kehilangan zona nyaman (comport zone).
Otak manusia punya mekanisme cepat untuk menyimpulkan sesuatu, makanya menilai atau menghakimi sering kali terjadi secara otomatis.
Contohnya; melihat seseorang berpakaian style tertentu, atau kita melihat orang satunya banyak bicara, gaya bertuturnya seperti orang paling akademisi dan yang satunya lagi banyaklah diam, bicara hanya sesekali saja, kita langsung punya opini : ” Dia itu kaya, miskin, pintar bodoh, malas, rajin, aneh, keren, norak.”
Tapi untuk berpikir, kita harus menahan dorongan diri dulu agar jangan terlalu cepat menilai, sebelum kita mengumpulkan informasi dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang, atau mungkin kita mau merevisi dulu sudut pandang kita selama ini. Itu semua memang tidak instan, itu melelahkan. Itulah mengapa berpikir itu lebih sulit, jika dibandingkan dengan menilai.
Warisan terhebat anda bukanlah apa yang anda tinggalkan untuk anak- cucu anda. Warisan terhebat adalah apa yang Anda tinggalkan di dalam diri mereka, karena warisan sejati adalah akar, bukan buah.
Tujuan akhir hidup di alam dunia ini, bukan sekedar supaya tetap kaya, tujuan akhir yang lebih mulia; menciptakan generasi pencipta yang mandiri, bukan generasi yang bergantung.
Generasi yang lahir di bawah pohon rindang, apalagi mereka yang tidak di ajarkan atau dilatih untuk berpikir.
Mereka yang hanya diajarkan menikmati teduhnya saja, maka generasi yang seperti itu akan mengira pohon rindang itu sudah ada dengan sendirinya. Dan akhirnya generasi yang seperti itu mereka hanya tahu cara memetik buahnya, bukan cara merawat akarnya. Mereka akan menjadi generasi yang malas berpikir, apalagi mau merasakan susahnya menggali tanah, merasakan panasnya matahari dan merasakan cemas saat badai datang.
Penyakit sebenarnya yang diwariskan ke anak-cucu, akhirnya akan hilanglah mentalitas pencipta, karena selama ini anak-cucu kita tidak ada transfer kegagalan dan ilmu bertahan.
Komunikasi soal uang dan bisnis dianggap tabu, yang ada hanya cerita kekayaan, jabatan atau status sosial, lainnya dianggap garis finis, bukan bahan bakar. Inilah penyakit sunyi yang menggerogoti dari generasi ke generasi, ini jarang disadari para orang tua.
Salam sehat selalu untuk semuanya dimanapun berada.
*(Hengki, Owner Eral Kafe).







