Bongkarpost.co.ud
Bandar Lampung,
Di negeri ini, ada satu penyakit sosial yang mungkin tak kasat mata, tapi dampaknya sangatlah nyata: kebiasaan memuja pejabat secara berlebihan. Begitu seseorang menduduki jabatan penting—entah itu kepala daerah, anggota dewan, atau menteri—seketika banyak orang berubah sikap. Mereka menunduk lebih dalam, berbicara lebih lembut, bahkan menganggap pejabat seolah makhluk suci yang tak boleh dikritik. Padahal, mereka bukan raja. Mereka hanyalah rakyat yang diberi tugas sementara untuk mengurus negara.
Membedakan Hormat dan Muji
Kita sering salah paham bahwa menghormati berarti harus menyanjung. Padahal, menghormati dengan akal sehat justru berarti mengawasi dan menuntut tanggung jawab. Seorang pejabat tidak dilantik untuk dipuja, tetapi untuk bekerja, melayani, dan mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang ia ambil kepada rakyat—bukan sebaliknya.
“Menghormati dengan akal sehat berarti mengawasi dan menuntut tanggung jawab.”
Bahaya Budaya Muji
Budaya memuja inilah yang membuat banyak pejabat kehilangan rasa malu. Mereka dikelilingi orang yang selalu memuji, tanpa berani menegur. Kritik dianggap penghinaan, sementara penjilat dianggap setia. Akibatnya, pejabat semakin merasa dirinya istimewa, tak tersentuh hukum, dan berhak atas segala fasilitas. Dari sinilah lahir korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap rakyat.
Rakyat Sehat Berdiri Sejajar
Rakyat yang sehat tidak berlutut di hadapan kekuasaan. Mereka berdiri sejajar, karena tahu bahwa negara ini milik bersama. Seorang pejabat bukan pemilik negeri, melainkan pelayan yang digaji dari pajak rakyat. Maka sudah seharusnya, kita berhenti memuja dan mulai mengawasi.
Kritik Bukan Benci, Hormat Bukan Tunduk
Hormat tidak harus berarti tunduk, dan kritik bukan berarti benci. Jika bangsa ini ingin maju, kita harus mulai dari hal paling sederhana: menghapus mental pengagum jabatan. Hargai mereka yang bekerja dengan benar, tegur mereka yang berkhianat.
“Negara akan jatuh bukan oleh pejabat yang jahat, tapi oleh rakyat yang terlalu takut dan terlalu kagum untuk menegur.”
Membangun Kesadaran Baru
Jangan lagi ada tangan yang mencium cincin kekuasaan, jangan lagi ada lidah yang sibuk menyanjung orang yang seharusnya melayani. Karena pada akhirnya, perubahan dimulai dari kesadaran kita semua untuk menghormati dengan cara yang benar—dengan kritis, dengan tanggung jawab, dan dengan keberanian untuk berbicara.
[]