Mahkamah Konstitusi: Kritik di Media Sosial Tidak Dapat Dikriminalisasi

Opini

 

Bacaan Lainnya

 

Mahkamah Konstitusi: Kritik di Media Sosial Tidak Dapat Dikriminalisasi

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-XXII/2024 pada April 2025. Membatasi ketentuan pencemaran nama baik dalam UU ITE hanya berlaku untuk individu, bukan institusi.

Putusan ini menekankan bahwa kritik di media sosial merupakan bagian penting dari pengawasan demokratis, melindungi wacana publik terhadap entitas pemerintah dari konsekuensi hukum, dan menanggapi kekhawatiran tentang penyalahgunaan sebelumnya UU ITE untuk membungkam kritik.

Kritik yang ditujukan pada institusi dapat dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh hukum. Namun, di Indonesia, UU ITE seringkali disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap institusi.

Menurut putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE hanya dapat dilaporkan oleh individu sebagai korban langsung. Ini artinya, bahwa insttitusi pemerintah, korporasi atau jabatan resmi tidak lagi memiliki kewenangan untuk melaporkan dugaan pencemaran nama baik.

 

Sejarah UU ITE

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia mencerminkan upaya pemerintah untuk mengatur perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era digital, sekaligus menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kebebasan berpendapat dengan keamanan serta ketertiban masyarakat. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai perkembangan UU ITE:

1. Pengesahan Awal: UU No. 11 Tahun 2008UU ITE pertama kali disahkan pada 21 April 2008 oleh DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hukum ini dibuat untuk mengatur aktivitas elektronik, termasuk transaksi daring, perlindungan data, dan penggunaan teknologi informasi.

Latar belakangnya adalah globalisasi informasi yang menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, sehingga diperlukan kerangka hukum nasional untuk mendukung pengembangan teknologi secara optimal, sekaligus mencegah penyalahgunaan (Pasal 2 UU ITE 2008). UU ini mencakup berbagai aspek, seperti transaksi elektronik, sertifikasi elektronik, dan tindakan pidana siber (misalnya, penyebaran konten yang dianggap melanggar, seperti pornografi atau pencemaran nama baik, diatur dalam Pasal 27).

2. Kontroversi dan Penyalahgunaan Awal Sejak diberlakukan, UU ITE menuai kritik karena pasal-pasalnya, terutama Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 tentang ujaran kebencian, dianggap terlalu luas dan rentan disalahgunakan. Ketentuan ini sering digunakan untuk menjerat warga atas kritik terhadap pejabat atau institusi pemerintah.

Misalnya, banyak kasus di mana individu dipidana karena postingan media sosial yang dianggap menghina, meskipun maksudnya adalah kritik konstruktif. Hal ini memicu persepsi bahwa UU ITE lebih melindungi pihak berkuasa daripada melindungi kebebasan berpendapat.

3. Amandemen Pertama: UU No. 19 Tahun 2016. Pada 2016, di bawah Presiden Joko Widodo, UU ITE mengalami amandemen pertama melalui UU No. 19 Tahun 2016. Perubahan ini bertujuan untuk menyesuaikan hukum dengan perkembangan teknologi dan mengurangi dampak negatif dari penegakan hukum yang berlebihan. Beberapa perbaikan meliputi klarifikasi definisi tindak pidana dan pengurangan ancaman pidana dalam beberapa kasus. Namun, kritik tetap ada karena pasal-pasal kontroversial seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian masih dipertahankan, dengan interpretasi yang tetap ambigu.

Amandemen ini juga mencoba memperkuat perlindungan transaksi elektronik dan sertifikasi digital, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

4. Tekanan Publik dan Revisi Lanjutan. Sepanjang dekade berikutnya, tekanan dari masyarakat sipil, organisasi hak asasi manusia (seperti Amnesty International dan ARTICLE 19), serta aktivis kebebasan berpendapat terus meningkat. Mereka menyoroti bahwa UU ITE sering digunakan sebagai alat represif, dengan contoh kasus seperti penahanan jurnalis dan warga biasa atas tuduhan defamation berdasarkan keluhan subjektif.

Pada 2022-2023, pembahasan revisi kedua intensif dilakukan oleh Komisi I DPR RI bersama pemerintahan Joko Widodo. Draft revisi Juli 2023 awalnya dianggap tidak memadai karena mempertahankan pasal-pasal yang bermasalah, seperti ketentuan tentang kebencian dan penghinaan.

5. Amandemen Kedua: UU No. 1 Tahun 2024. Pada 5 Desember 2023, DPR RI akhirnya menyetujui Amandemen Kedua UU ITE, yang resmi menjadi UU No. 1 Tahun 2024. Revisi ini mencakup beberapa perubahan signifikan: -Peningkatan Sanksi: Denda maksimum untuk pelanggaran tertentu (misalnya, Pasal 27 ayat 2) ditingkatkan, menunjukkan pendekatan yang lebih tegas terhadap pelanggaran berat. -Perlindungan Anak: Operator sistem elektronik diwajibkan melindungi anak dari konten berbahaya.

-Sertifikasi Elektronik: Ada pembatasan terhadap operator sertifikasi asing dan pengaturan tanda tangan elektronik berisiko tinggi.

Namun, kritik tetap muncul karena beberapa pasal kontroversial, seperti pencemaran nama baik, masih dipertahankan dengan interpretasi yang tidak sepenuhnya jelas.

Revisi ini juga mencoba menyelaraskan UU ITE dengan KUHP yang baru, meskipun harmonisasi ini dianggap belum optimal oleh banyak pihak.

6. Putusan MK 2025 dan Implikasi Terkini. Pada April 2025, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024, yang menjadi titik balik penting. Putusan ini menyatakan bahwa kritik di media sosial tidak dapat dikriminalisasi secara sembarangan, terutama jika ditujukan kepada institusi publik, dan membatasi penerapan Pasal 27 UU ITE hanya untuk kasus individu.

Putusan ini menanggapi kekhawatiran publik bahwa UU ITE sebelumnya digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Dengan demikian, ini memperkuat perlindungan terhadap wacana publik dan mengurangi risiko penyalahgunaan hukum oleh pihak berwenang.

Sejarah UU ITE menunjukkan perjalanan panjang dari upaya regulasi teknologi menjadi alat yang kontroversial, hingga reformasi bertahap untuk menyesuaikan dengan nilai demokrasi dan hak asasi. Meskipun amandemen 2016 dan 2024 membawa perbaikan, putusan MK 2025 menjadi langkah krusial dalam memastikan UU ITE tidak lagi menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat, terutama di era media sosial yang dinamis. Namun, implementasi dan interpretasi di lapangan tetap menjadi tantangan ke depan.(*)

Pos terkait