Bongkarpost.co.id (Jakarta) – Ketua Umum PP Farkes, Wiwit Widuri menyoroti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang berdampak pada ekonomi rakyat yang semakin terhimpit.
Terlebih, pasca pandemi covid-19, masyarakat belum memulihkan kondisi ekonomi dan dihantam dengan kenaikan harga BBM.
Sehingga, lanjut dia, kenaikan harga BBM membuat masyarakat di kalangan pekerjaan juga semakin tersudut karena Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMP) atau Provinsi (UMP) masih stagnan.
“Besar atau kecilnya kenaikan BBM sulit tidak berdampak untuk pada tingginya biaya hidup masyarakat khusus buruh atau pekerja yang upah berstandar UMP atau UMK. Daya beli buruh dan pekerja pada level bawah yang saat ini cukup memprihatinkan, kok tega-teganya pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi,” ucap Wiwit, Selasa (6/9/2022).
Dia mempertanyakan sikap pemerintah yang tak berempati pada masyarakat prasejahtera karena kenaikan harga BBM mengoyak tatanan kehidupan masyarakat.
“Dimana letak empati pemerintah hari ini pada masyarakat yang hidupnya pas-pasan, sulit kiranya diterima secara akal sehat,” tambahnya.
Dia menyebut, bila pemerintah berdalih bahwa kenaikan BBM untuk mengurangi beban APBN, tetapi mestinya Pemerintah mencari formulasi ekonomi lain agar tak menambah beban masyarakat.
“Kalau hanya berdalih BBM naik dikarenakan mengurangi beban APBN mungkin masih banyak cara atau teori ekonomi yang memungkinkan,” ujarnya.
Apalagi, kenaikan harga BBM juga memiliki dampak domino pada harga komoditi lain seperti cabe.
“Jeritan pekerja terhadap kenaikan BBM membuat emak-emak semakin menderita, pemerintah tak ada empati,” paparnya.
Namun, pemerintah menggulirkan program bantuan langsung tunai (BLT) sebagai bentuk kompensasi yang juga dinilai takkan memulihkan ekonomi masyarakat secara berkepanjangan.
“BLT yang akan diberikan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM belum tentu tepat sasaran.Apa lagi kondisi perekonomian masyarakat pasca covid bukanlah hal yang mudah buat para pekerja,” tambahnya.
“Adapun bantuan Rp600 ribu buat pekerja belum lah berarti apa-apa, hemat saya bukanlah sekedar dengan nilai Rp600 ribu yang mereka harapkan, tetapi adanya suatu pekerjaan yang tetap untuk kelangsungan hidup, semoga pemerintah bisa mendengar aspirasi rakyat,” tutupnya.
(Red)







