Ketika Sapi Bertetangga di Kota: Tantangan Peternak Urban dan Solusi Berkelanjutan

Artikel

 

Bacaan Lainnya

 

Ketika Sapi Bertetangga di Kota: Tantangan Peternak Urban dan Solusi Berkelanjutan

 

Oleh : Imelda Panjaitan

(Program Studi Agribisnis Peternakan, Politeknik Negeri Lampung)

 

Pendahuluan

Bayangkan sebuah pemandangan tak biasa: peternak yang setiap hari “ngarit” atau mencari rumput, bukan di hamparan padang hijau luas, melainkan di sela-sela keterbatasan lahan perkotaan, demi menyediakan pakan sapi. Inilah realitas yang dihadapi oleh Peternak yang tergabung dalam Gapoktan Harapan Makmur di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung. Mereka adalah para peternak urban, yang dengan gigih mempertahankan usaha ternak sapi di lahan terbatas perkotaan. Keberadaan mereka bukan sekadar fenomena unik, melainkan bagian vital dari rantai pasok pangan lokal. Namun, sistem pemeliharaan di perkotaan ini, ditambah dengan interaksi intens dengan lingkungan sekitar, membawa serangkaian tantangan serius, terutama terkait kesehatan ternak dan pengelolaan limbah feses yang belum optimal. Jika tidak diatasi, tantangan ini bisa mengancam keberlangsungan usaha peternakan urban yang sejatinya memiliki potensi besar.

 

Tantangan Ganda Peternak Urban

Peternak di Gapoktan Harapan Makmur menghadapi dua gunung masalah yang mendesak. Pertama adalah masalah kesehatan ternak. Berdasarkan pengalaman mereka, penyakit seperti lumpuh pasca melahirkan pada induk sapi dan kembung seringkali menjadi momok. Kasus lumpuh pasca melahirkan, misalnya, bisa menyebabkan kerugian besar karena induk sapi tak lagi produktif dan biaya pengobatan yang tak sedikit. Kembung pun tak kalah berbahaya, bisa berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Belum lagi ancaman wabah seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Lumpy Skin Disease (LSD) yang pernah melanda dan meninggalkan kekhawatiran mendalam.

Tingginya angka kejadian penyakit ini bukan hanya mengurangi produktivitas sapi, tetapi juga menguras finansial peternak dengan skala kepemilikan 2-5 ekor sapi. Akar permasalahannya kerap berasal dari kurangnya pengetahuan peternak tentang manajemen pakan yang tepat, kebutuhan nutrisi spesifik, serta penerapan biosekuriti dan sanitasi kandang yang masih belum optimal. Masalah kedua, yang tak kalah pelik di lingkungan perkotaan, adalah pengelolaan limbah feses sapi. Dengan lahan yang terbatas, tumpukan feses seringkali menjadi pemandangan tak terhindarkan di sekitar kandang. Konsekuensinya, bau tidak sedap yang menyengat tak jarang memicu keluhan dari masyarakat sekitar.

Lebih dari sekadar bau, limbah ini berpotensi mencemari air dan udara jika tidak ditangani dengan baik. Peternak umumnya masih menerapkan metode penampungan konvensional, tanpa pengolahan lebih lanjut. Keterbatasan ruang dan minimnya pengetahuan tentang cara mengolah limbah menjadi sesuatu yang bernilai membuat feses ini hanya dianggap sebagai buangan, bukan sebagai potensi sumber daya.

 

Mencari Solusi Berkelanjutan: Mengubah Masalah Menjadi Peluang

Melihat kompleksitas tantangan ini, pendekatan yang komprehensif adalah kunci. Program pendampingan yang menyasar mitigasi penyakit dan inovasi pengelolaan limbah feses menjadi sangat esensial. Untuk masalah kesehatan, edukasi tentang nutrisi seimbang, pencegahan penyakit, dan pelatihan penanganan darurat sangat dibutuhkan. Peternak perlu dibekali pengetahuan mengenai pentingnya vaksinasi rutin, penerapan biosekuriti ketat, dan sanitasi kandang yang memadai untuk melindungi ternak mereka dari ancaman penyakit.

Di sisi lain, masalah limbah feses justru menyimpan peluang besar. Alih-alih dibuang atau menumpuk begitu saja, feses sapi dapat diolah menjadi biogas sebagai sumber energi alternatif atau pupuk organik berkualitas tinggi. Inilah titik di mana konsep urban farming atau pertanian kota berkelanjutan menemukan relevansinya. Di Gapoktan Harapan Makmur, terdapat Kelompok Wanita Tani (KWT) yang aktif menanam sayuran dan tanaman semusim di pekarangan rumah mereka.

Feses sapi yang telah diolah menjadi pupuk organik bisa menjadi sumber nutrisi gratis bagi tanaman KWT, meningkatkan hasil panen dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Sinergi antara peternakan dan pertanian ini tidak hanya menyelesaikan masalah limbah, tetapi juga menciptakan ekosistem pertanian-peternakan urban yang mandiri dan ramah lingkungan.

 

Kesimpulan

Keberadaan peternakan sapi di tengah perkotaan seperti di Gapoktan Harapan Makmur adalah aset yang perlu dijaga dan dikembangkan. Meski dihadapkan pada tantangan berat berupa penyakit ternak dan pengelolaan limbah yang belum optimal, solusi terpadu dan berkelanjutan sangat mungkin diwujudkan.

Dengan pendampingan yang tepat dalam mitigasi penyakit dan inovasi pengolahan feses, peternak urban tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan mereka, tetapi juga berkontribusi pada lingkungan yang lebih bersih dan pertanian kota yang lebih hijau. Kisah sapi-sapi di tengah kota ini adalah tentang bagaimana kita mengubah tantangan menjadi peluang, menciptakan harmoni antara aktivitas manusia, ternak, dan lingkungan di tengah urbanisasi. (*)

Pos terkait