Bongkarpost.co.id
Sumatra Selatan,
Pengadilan Negeri Kayu Agung telah menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Tri Hadiritanto alias Bentar, atas kasus tindak pidana “perbuatan cabul” terhadap anak dibawah umur yang masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp50 juta subsider 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan, pada Kamis (6/3/2025).
Atas putusan tersebut, pihak keluarga korban merasa kecewa, karena putusan tersebut dinilai sangat ringan. Apalagi pelakunya merupakan seorang Bendahara Paguyuban Seni Kuda Lumping Budaya Turonggo Utomo, tempat korban belajar kesenian.
Menurut pengacara korban, Lamsihar Sinaga, putusan hakim tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban. Ia menyampaikan, atas perbuatan terdakwa korban mengalami trauma dan perundungan hingga mesti pindah sekolah.
“Tentu kami menilai putusan ini tidak mencerminkan rasa keadilan bagi keluarga korban sebab jauh dari tuntutan jaksa yang menuntut Terdakwa 8 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar, subsider 6 bulan penjara.
Sedangkan pada fakta persidangan terungkap, atas perbuatan terdakwa, korban mengalami trauma.
“Bahkan atas kejadian yang dialami, korban terekspose, dibully, hingga harus pindah sekolah,” ungkap Lamsihar Sinaga, melalui keterangan tertulisnya.
Lamsihar menambahkan, mestinya Majelis Hakim dapat melihat fakta persidangan secara lebih cermat. Menurutnya, status terdakwa sebagai bendahara pada Paguyuban Seni Kuda Lumping Budaya Turonggo Utomo dan juga sebagai pemain gamelan, adalah hal yang dapat memperberat hukuman bagi terdakwa. Terlebih lagi selama persidangan, terdakwa ini tidak mengakui perbuatannya.
“Korban ini belajar kesenian kuda lumping di paguyuban terdakwa.Dimana terdakwa ini berstatus sebagai bendaharanya dan juga sebagai pemain gamelan. Jadi terdakwa ini memanfaatkan relasi kuasa antara dirinya dengan korban sehingga dapat melakukan perbuatan cabul terhadap korban. Hal itu jelas terungkap di persidangan,” paparnya.
Bahkan, dia menilai, putusan PN Kayu Agung terkesan mengesampingkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 yang juga merupakan perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Justru terdakwa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, padahal korban merupakan seorang anak dibawah umur.
“Kami hormati putusan PN Kayu Agung tersebut, meskipun kami menilai ada kesan dalam putusan tersebut mengesampingkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Menurut hemat jami mestinya terdakwa ini dapat dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak menginat statusnya yang masih dibawah umur, sehingga minimal terdakwa dapat dipenjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp5 miliar sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak,” jelas Alam, sapaan akrabnya.
Dia juga mengungkap, atas putusan ini, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan banding. Dan setelah putusan dalam perkara pencabulan ini berkekuatan hukum tetap, dia akan mengajukan permohonan restitusi ke Pengadilan Negeri Kayu Agung.
“Atas putusan ini Jaksa telah mengajukan banding, Kami harap dalam upaya banding ini putusannya menciptakan rasa keadilan bagi keluarga korban. Dan kami selaku kuasa hukum korban akan mengajukan permohonan restitusi setelah perkara ini berkekuatan hukum tetap atas kerugian yang dialami oleh korban,” tutup Alam.
Sebelumnya, peristiwa pencabulan ini telah dilakukan terdakwa sebanyak lima kali sejak tahun 2022 hingga tahun 2024, di Desa Bumi Pratama Mandira, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Perbuatan cabul dilakukan terdakwa kepada korban pada saat korban belajar kesenian kuda lumping di Paguyuban Turonggo Utomo tempat terdakwa sebagai bendahara dan pemain gamelan. (rls)