LARTAS OH LARTAS – Kini, bahkan “anak singkong” pun turut serta harap-harap gemas menanti Laras eh, Lartas. Semoga disemogakan. | dok/Muzzamil
Bongkarpost.co.id
Bandar Lampung,
Lartas kuwi opo?” pesan masuk Prawiro, petani singkong Lampung Tengah dalam Jawa ‘ngoko’, di gawai pewarta, 12 Mei lalu. Dia menanya: “Lartas itu apa?”
Berterima kasih responnya, kembara otak kiri pun merona. Bahkan petani singkong pun kini, makin merasa penting dan perlu walau guna sekadar tahu, hulu hilir pencaharian penentu nasib masa depan diri, keluarganya, —demi tak melulu sekadar cuma tahu, kelegamannya cocok tanam, bertani tanam ubikayu seumur hidup melulu cuma sebatas itu.
Hanya tanam jual, tanpa “olah” ditengahnya. Alih-alih acuh pada segala sesuatu terkait urusan tata niaga. “Urusan saya cuma bertanam. Urusan tata niaga (singkong) bukan urusan saya.” Demikian kekira.
Padahal, lebih jauh: ada moncong bahaya dari malapraktik serba tak enak diistilahkan yang telah dibiarkan demikian lama berlangsung, mula sebatas monopoli terselubung lantas berkembang manifes (mewujud menjadi) oligopoli dan oligopsoni, seperti benderang tersaji dalam kajian komisi negara bentukan Undang-Undang (UU) 5/1999 pengampu tupoksi pengawasan pelaku usaha Indonesia agar dalam berkegiatan usaha tak lakukan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat: Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) RI.
“Oligopoli”: kondisi obyektif struktur pasar di mana beberapa perusahaan besar menguasai industri, sehingga persaingan tidak sempurna.
Dengan 5 ciri utama: hanya ada beberapa perusahaan produsen yang menguasai pasar; antar perusahaan bersaing berebut pangsa pasar; sulitnya perusahaan baru masuk pasar karena biaya dan hambatan tinggi; kecuali harga hampir sama (harga produk condong serupa antar perusahaan karena persaingan); tingginya ketergantungan antar perusahaan, (keputusan satu memengaruhi lainnya).
Industri tapioka, yang rekat dengan industri makanan dan minuman, selain misal industri otomotif, penerbangan, ritel, telekomunikasi; acap kali memiliki struktur oligopoli. Sebab itu penting memahami oligopoli guna perkaya pengetahuan, selain untuk memenuhi kebutuhan pengembangan strategi bisnis, keputusan investasi, atau analisis pasar.
Urusan tata niaga ubikayu dan atau tapioka di Lampung notabene masuk radar KPPU lewat kajian KPPU Wilayah II Perwakilan Lampung, bahwa ada dua malapraktik sekaligus, yakni “oligopoli” dan “oligopsoni” yang lumayan serius, kronis, dalam struktur pasar industri ubikayu dan tapioka di Lampung.
KPPU menemukenali, pasar industri ubikayu dan tapioka di Lampung menunjukan struktur pasar oligopoli: ada 4 pelaku usaha terbesar menguasai lebih dari 75 persen pasar.
KPPU menemukenali, terdapat oligopsoni dalam pembelian bahan baku ubikayu, di mana hanya segelintir perusahaan besar yang menjadi pembeli utama hasil panen petani.
KPPU jua menyoroti impor tepung tapioka oleh empat perusahaan produsen tapioka di Lampung, mencapai 59.050 ton sepanjang 2024 bernilai 32,2 juta dolar AS! Data KPPU, ini bagian dari total importasi 267 ribu ton tapioka. Setara 1,3 juta ton ubikayu lokal.
Tudingan hingga vonis hitam pun dijatuhkan. Kuat tengara, tingginya volume impor tapioka diduga jadi pemengaruh utama penyebab rendahnya harga singkong di Lampung.
Dominasi segelintir korporat dan importir besar, bikin petani fakir daya tawar. Harga singkong hasil panen acap ditentu sepihak, tanpa menimbang biaya produksi. Ambyar.
Beranjak dari luka dalam rakyat tani ubikayu, dari keprihatinan mendalam wakil rakyat demi bertahun-tahun menemukenalinya pilu, demi atasi anjloknya harga singkong petani, DPRD Lampung membentuk Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong produk Paripurna 6 Januari 2025 lalu. Untuk: merancang kebijakan dan regulasi tata niaga yang lebih berkeadilan lagi berkelanjutan bagi kedua pelaku: petani dan industri.
“Kita harus pastikan impor hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk menekan harga pasar yang sudah ada. Jika tak dikendalikan, petani singkong akan terus dirugikan,” ketus Fauzi Heri, anggota Pansus dari Fraksi Gerindra, mantan jurnalis Indosiar dan Ketua KPU Bandarlampung ini, 7 Februari lalu, menohok mewanti impor harus benar-benar diatur biar tak jadi alat spekulasi sebabkan harga singkong petani anjlok.
Dalam perkembangannya, pascaterbit beleid Instruksi Gubernur (Ingub) Lampung Nomor 2/2025, diteken Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal 5 Mei 2025.
Ingub dirilis hari yang sama usai Gubernur didampingi Pj Sekdaprov M. Indra Firsada, Ketua DPRD Lampung Ahmad Giri Akbar didampingi Ketua Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung Mikdar Ilyas, dialog dengan perwakilan pedemo Aliansi Masyarakat Peduli Petani Singkong Indonesia (AMPPSI) pimpinan Maradoni.
Plus pimpinan lima (dari 12) organisasi kemahasiswaan ekstrakampus Kelompok Cipayung Plus Lampung. Yakni, Ketua HMI Bandarlampung Tohir Bahnan, Ketua IMM Lampung Jefri Ramdani, Ketua KMHDI Lampung Nengah Chandra, Ketua LMND Lampung Redho Balaw, dan Ketua PMII Lampung M Yusuf Kurniawan didampingi Ketua PMII Bandarlampung Alandra Pratama.
Tiga poin Ingub: penetapan harga dasar singkong dibeli industri dari petani sebesar Rp1.350 per Kg, potongan rafaksi maksimal 30%, tanpa potongan kadar pati (aci).
Bumi gonjang-ganjing, industrialis Lampung terbelah: yang sigap respons siap patuh disertai pinta dispensasi 3 hari prakondisi sistem digital pembelian singkong petani (6-8 Mei 2025) yakni 33 korporat anggota Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) pimpinan Welly Sugiono, ada yang wait and see lalu berbondong ikut.
Kegelisahan kolektif pelaku industri tapioka Lampung, yang mendasarkan diri selain pada syarat material kualitas singkong dibeli dari petani, juga menimbang faktor X: tata niaga impor, dapat dipahami.
Namun, dengan harga Rp1.350/Kg singkong itu dipotong rafaksi maksimal 30 persen, tersisa Rp945, dipotong rerata ongkos kuli Rp200 tersisa Rp745 yang didapat petani.
Geger jagat pertanian lahan kering Lampung, provinsi penghasil singkong terbesar nasional, belakangan turut menyeret-nyeret pula ‘bukan nama orang’ satu ini: Lartas.
Setelah, Pemerintah Provinsi, dan DPRD Provinsi Lampung —hingga bentuk Pansus Tata Niaga Singkong, sebulat sekompak itu.
Meski minus embel-embel “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” bak bunyi naskah proklamasi, bebunyiannya cukup nyaring terdengar, menggesa desakan kesegeraan terbit kebijakan Larangan dan Pembatasan (Lartas) Impor Ubikayu (Singkong) dan turunannya, seperti tepung tapioka untuk segera dieksekusi.
Yang bukan ranah pemerintah daerah, tetapi pemerintah pusat lewat kementerian/lembaga terkait. Lartas singkong, disebut ranah Kementerian Koordinator Perekonomian.
Kemenko 7 kementerian: Kementerian Perdagangan (Kemendag) terutama, dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan instansi lain yang dianggap perlu; sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 139/2024 soal Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih 2024-2029.
Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29/2021, yang mengatur penyelenggaraan bidang perdagangan termasuk pengendalian impor dan ekspor, dikelola Kemenko Perekonomian.
Lartas, acap ditemui dalam bincang bisnis perdagangan ekspor impor dunia. Ada barang yang dilarang dan dibatasi diperdagangkan lintas negara. Giat importasi memungkinkan masyarakat umum dan dunia usaha dunia industri (DUDI) peroleh bahan baku, barang, dan produk jumlah terbatas atau tidak bisa dihasilkan di dalam negeri.
Kendati importasi berpengaruh besar bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, kegiatannya tetap harus ketat diawasi, agar masyarakat luas, industri dalam negeri, dan kepentingan nasional tetap terlindungi.
*Lartas Singkong-Tapioka, Pucuk Terakhir*
Lartas: peraturan hukum pengatur ketentuan perdagangan internasional barang tertentu yang memerlukan izin khusus untuk diekspor atau diimpor. Kata lain, seperangkat piranti hukum pengatur barang yang boleh tak boleh diperdagangkan (diekspor atau diimpor) atau diperdagangkan dengan persyaratan dan izin khusus instansi terkait.
Lartas merujuk jenis barang yang dilarang atau dibatasi untuk diekspor atau diimpor pemerintah suatu negara termasuk Indonesia. Barang Lartas, sebutan bagi barang yang diawasi ketat pemerintah dan memerlukan izin khusus dalam perdagangan internasional.
Lartas diterapkan, bertujuan melindungi kepentingan nasional (melindungi industri dalam negeri, melindungi masyarakat dari barang-barang berbahaya), keamanan negara, kesehatan masyarakat, lingkungan, dan hak atas kekayaan intelektual.
Barang terkena Lartas terbagi beberapa kategori, penanganannya melibatkan ragam prosedur termasuk kemungkinan re-ekspor hingga dilelang jika tak dapat memenuhi izin.
“Lartas amat penting demi menjaga stabilitas ekonomi, pelindungan rakyat, dan ketertiban arus lalu lintas perdagangan dunia.”
Tak semua barang dapat diimpor bebas. Nun kasus tertentu, barang terkena Lartas dapat beroleh pengecualian: diperbolehkan diimpor atau diekspor seizin khusus instansi terkait.
Ekspor impor barang Lartas diatur UU 10/1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d) UU 17/2006. Pengaturan tarif pajaknya di Peraturan Menteri Keuangan 141/PMK.04/2020 soal Pengawasan Terhadap Impor atau Ekspor Barang Larangan dan/atau Pembatasan.
Beleid turunan lainnya, Permendag 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor sebagaimana diubah dengan Permendag 3/2024, kedua dengan Permendag 7/2024.
Juga diatur regulasi kementerian/lembaga terkait, seperti Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH), Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut), Peraturan Kapolri (Perkap), hingga Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Serba ketat terintegrasi, ragam peraturan penetapan Lartas masing-masing instansi ini disampaikan ke Menteri Keuangan sebagai penaung Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pengelola portal Indonesia National Single Window (INSW).
Pengelompokan pengenaan Lartas terbagi empat kategori: barang tidak kena Lartas, barang terkena Lartas, barang terkena Lartas namun dikecualikan, dan barang dibebaskan dari Lartas.
Beda jenis barang Lartas beda pula peraturan terkaitnya. Misal Permendag atur jenis Lartas barang konsumsi, bahan kimia. Permenperin atur jenis Lartas barang industri teknologi, elektronik. Permentan atur jenis Lartas agrikultur, termasuk hewan, tumbuhan, produk turunannya.
Permen LH atur jenis Lartas lingkungan misal limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Permenkes-Perka BPOM atur jenis Lartas produk kesehatan, kecantikan, makanan. Perkap atur Lartas impor senpi tanpa izin, dll.
Ketentuan impor, penanganan barangnya; importir harus dapat persetujuan impor Lartas dari Menteri Perdagangan, sebelum barang masuk Daerah Pabean (Pelabuhan).
Saat dokumen pemberitahuan pabean diajukan, sistem akan memvalidasi Kode HS (Harmonized System Code/HS Code) untuk pemenuhan persyaratan izin impor barang Lartas. Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu akan lakukan pengawasan pelaksanaan impor itu.
Ruang lingkup pengawasannya, seperti apa? Jika awalnya diberitahukan barang itu tidak terkena Lartas tapi usai pemeriksaan fisik ternyata terkena, Bea dan Cukai berwenang menahannya. Barang impor yang langgar beleid Lartas disita, importirnya dihukum.
Sejauh ini, terdapat tiga jalan penyelesaian impor barang Lartas yang tak memenuhi perizinannya: dilakukan re-ekspor barang; barang dimasukkan ke mekanisme Barang Tidak Dikuasai (BTD), Barang Dikuasai Negara (BDN), atau Barang Milik Negara (BMN); atau berujung pada pelelangan.
Sejauh ini pula, persyaratan dokumen dan perizinan diperlukan untuk impor barang Lartas sesuai Permendag 7/2024, ada tiga.
Kesatu, punya Nomor Induk Berusaha (NIB), berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API). Kedua, bila tak punya NIB sebagai API, harus punya perizinan perusahaan bidang impor, verifikasi/penelusuran teknis, dan keterangan pembatasan pelabuhan tujuan.
Ketiga, bagi importir yang lakukan impor sementara dan tak diekspor kembali untuk dihibahkan ke pemerintah pusat, wajib lampirkan Keputusan Menteri Keuangan tentang izin impor sementara, dan keterangan instansi pemerintah pemilik proyek.
Prosedur impor barang Lartas, bisa berbeda tergantung jenis barang Lartas yang diimpor. Tetapi umumnya harus sepersetujuan masing-masing instansi terkait. Mulai dari kementerian teknis pengatur jenis barang yang akan diimpor, hingga Kemendag serta institusi pengawas: Ditjen Bea Cukai.
Mari kupas tahapan prosedurnya, mulai dari sebelum impor, hingga pengeluaran barang.
Sebelum impor yakni temukenali (identifikasi) barang dan ketentuan Lartas, klasifikasikan barang akan diimpor dengan Harmonized System Code (HS Code) caritahu terkategori Lartas atau bukan, cek ketentuan perizinan dan dokumen diperlukan.
Lantas untuk pengurusan izin dan sertifikasi, ajukan permohonan izin impor seperti Surat Persetujuan Impor (SPI) atau izin lain sesuai jenis barang diimpor ke instansi itu. Sama penting, urus sertifikat diperlukan: Sertifikat SNI (Standar Nasional Indonesia), Sertifikat Fitopatologi, Sertifikat Kesehatan, lainnya.
Berikut, siapkan, susun dokumen impor dibutuhkan guna pemberitahuan pabean: Pemberitahuan Impor Barang (PIB), airway bill (AWB), daftar kemasan, faktur, dan lainnya. Sertakan pula Laporan Surveyor (LS) pemasti barang impor sesuai spesifikasi dan regulasi.
Adapun, lembaga surveyor barang Lartas: lembaga berwenang lakukan verifikasi dan penelusuran teknis barang impor kategori Lartas (termasuk pemeriksaan dokumen perizinan dan kondisi fisik barang guna pemastian kesesuaian dokumen dan barang diimpor), yang ditetapkan pemerintah antara lain Sucofindo dan Surveyor Indonesia.
Nah, hasil verifikasi dan penelusuran teknis ini dituang dalam Laporan Surveyor (LS), bagian dokumen syarat. Dari situ baru geser ke pemeriksaan Ditjen Bea Cukai.
Lanjut, tahapan pengeluaran barang impor.
Berurut, ajukan pemberitahuan impor (kirim PIB) ke Ditjen Bea Cukai, daring via situs Indonesia National Single Window (INSW).
Sistem akan verifikasi dokumen, cek kesesuaian barang diimpor apakah kena Lartas dan pemenuhan semua persyaratan. Bea Cukai akan cek fisik barang, memastikan sesuai dokumen dan ketentuan Lartas. Proses karantina berlaku untuk barang tertentu (hewan, tumbuhan dll).
Lalu, importir wajib lunas bea masuk, pajak impor dan biaya lain kenaan Bea Cukai. Bea Cukai akan beri izin pelepasan barang impor Lartas dari kawasan pabean (pelabuhan).
Jika barang terkena Lartas itu ‘post border’, gimana? Sesuai nama. Jika barang dimaksud termasuk barang Lartas nan pengawasannya dilakukan usai keluar dari kawasan pabean, per teknis pengawasannya dialihkan ke instansi terkait pascabarang keluar area.
Penanganan khusus jua berlaku jika izin tak dapat dipenuhi. Apa itu? Itu tadi: barang bisa diekspor kembali, dimasukkan ke mekanisme BTD, BDN, atau BMN; atau, dilelang! Waduh.
Terakhir, dokumentasikan, arsipkan. Simpan rapi total dokumen impor untuk kebutuhan audit atau pemeriksaan kemudian hari jika diperlukan. Ini kenapa, peran arsiparis atau konsultan impor, penting.
Jika tidak, bisa selip. Kita patut sadar risiko, jerat sanksi hukum bisa buat anak istri njerit.
Asal tahu, merujuk Pasal 102 UU 17/2006, importir yang tak memenuhi ketentuan atau prosedur impor berlaku, akan dikenakan sanksi dan konsekuensi hukum pidana penjara 1-10 tahun, denda minimal Rp50 juta maksimal Rp5 miliar. Ini UU 19 tahun lalu lho.
Memangnya, apa saja pelanggaran impor barang Lartas yang dikenakan sanksi itu?
‘Etaterangkanlah’, sedikitnya 8: barang diangkut tak sesuai data tercantum di manifest; membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin Kepala Kantor pabean; barang impor yang dibongkar tak tercantum di pemberitahuan pabean; membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain yang ditentukan/diizinkan.
Berikutnya, menyembunyikan barang impor secara melawan hukum; mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya; mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tak sampai ke kantor pabean tujuan; kesalahan sengaja dalam memberitahukan jenis/jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean.
Berani coba-coba? Ingat niat awalan, kita impor itu cari cuan, bukan sebaru-barunya kenalan. Di penjara.
Tips biar impor lancar sesuai ketentuan? Ada. Pertama, wajib, langitkan doa per keyakinan masing masing. Niatkan hanya demi ridhaNya.
Hindari kendala proses, pastikan selalu lalap informasi terbaru, pahami regulasi berlaku sebelum lakukan impor; tradisikan “tanpa kecuali” dalam memenuhi seluruh dokumen syarat, periksa juga reputasi rekanan supplier manca —pastikan dapat sediakan semua dokumen impor diperlukan.
Jangan segan gunakan jasa konsultan/ahli pengurusan impor jika unit usaha kita tak miliki. Juga arsiparis tadi, penyimpan seluruh salinan, catatan dokumen impor termasuk izin, sertifikat serta lainnya, bukti otentik jika diperlukan pihak berwenang sewaktu-waktu. Jaga-jaga. Prinsipnya: taat asas solusi bernas. Sebab, ssst, kuat tengara, importir nakal konon masih banyak. Dan, ganas-ganas.
‘Tapioke’, tapi ngomong-ngomong, sudah panjang lebar kita bahas, apa saja barang yang terkena Lartas? Detail uraian jenis barang Lartas impor serta pos tarif/kode HS, tertuang di 1.323 halaman Lampiran I-II Permendag 36/2023.
Per kategori, Barang yang Dilarang Sama Sekali: pakaian dan barang bekas (potensi penyebaran penyakit dan imbas negatif bagi industri tekstil dalam negeri); limbah B3; narkotika dan psikotropika; dan Bahan Perusak Ozon (BPO).
Barang Tertentu yang Dibatasi, meliputi: Hewan (hewan dan produk hewan, produk hewan jenis lembu, produk hewan jenis selain lembu, produk hewan olahan); Beras (untuk keperluan umum, untuk keperluan lain API-P, untuk keperluan lain/BUMN API-U); Jagung (untuk kebutuhan pakan, untuk bahan baku industri); Mutiara; Gula; Produk Kehutanan; Bawang Putih; Produk Hortikultura; Calon Induk, Induk, Benih Ikan, dan/atau Inti Mutiara.
Lalu, Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunannya; Ban; Mesin Multifungsi Berwarna, Mesin Fotokopi Berwarna, dan Mesin Printer Berwarna; Bahan Baku Plastik; Bahan Baku Pelumas; Perkakas Tangan Setengah Jadi; Semen Clinker dan Semen; Pupuk Bersubsidi; Keramik; Kaca Lembaran dan Kaca Pengaman; Garam; Hasil Perikanan; Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet; Sakarin, Siklamat, Preparat Bau-Bauan Alkohol; Intan Kasar; Makanan dan Minuman.
Lalu, Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan; Kosmetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga; Barang Tekstil Sudah Jadi Lainnya; Mainan; Tas; Pakaian Jadi dan Aksesori Pakaian Jadi; Tekstil dan Produk Tekstil/TPT; Minuman Beralkohol; Bahan Baku Minuman Beralkohol; Alas Kaki; Elektronik; Sepeda R2 dan R3.
Lalu, Plastik Hilir; Prekursor Non Farmasi; Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Lain; Nitrocellulose; Bahan Peledak untuk Industri Komersial; Senyawa Campuran Mengandung HCFC; Barang Berbasis Sistem Pendingin; Bahan Berbahaya (B2); B2 Tergolong Bahan Kimia Daftar; Hydrofluorocarbon/HFC; Katup.
Lainnya, barang modal tidak baru (BMTB, baik oleh perusahaan pemakai, oleh perusahaan rekondisi, oleh perusahaan remanufakturing, atau untuk tujuan tertentu); dan lainnya.
Lalu, Barang yang Wajib Label Bahasa Indonesia; Barang yang Wajib Memenuhi SNI; dan, Barang yang Wajib Memenuhi Kriteria Convention on International Trade of Endangered Spesies (CITES) atau Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah, bersistem perizinan Apendiks (I pembatasan/pelarangan perdagangan spesies risiko punah, II pengaturan bagi yang belum terancam punah, III bagi kerja sama perlindungan). Ini berlaku di 184 negara, Indonesia per 1978.
Singkong/tapioka? Belum termasuk Lartas impor. Pada 14 Mei lalu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman telah bersurat B-191/PI.200/M/05/2025 ke Menko Perekonomian, mengusulkan pelaksanaan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Pengendalian Impor Komoditas Ubikayu (Singkong) dan Produk Turunannya.
Surat permohonan itu bentuk tanggung jawab Kementerian Pertanian melindungi petani singkong yang saat ini kesulitan menjual hasil panennya akibat meningkatnya produk impor.
Dalam suratnya, Menteri Pertanian yang dikenal tegas bersih pemberani dan cinta petani ini menyampaikan bahwa perlu adanya perlindungan untuk para petani komoditas ubikayu dalam negeri.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat peningkatan volume impor ubikayu dari tahun 2023 ke 2024.
Kondisi ini mengganggu pasar domestik dan mengancam keberlangsungan usaha tani singkong. Hal senada juga terjadi dengan produk turunannya (tepung tapioka).
Sehingga dari itu, “Untuk melindungi petani dan menjaga stabilitas harga di tingkat produsen, perlu adanya langkah strategis dalam bentuk pengendalian impor, termasuk opsi penetapan larangan terbatas terhadap komoditas ubi kayu dan beberapa bentuk produk turunannya,” jelas Mentan Amran.
Kebijakan ini sekaligus menjadi bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap petani singkong. Banyak petani keluhkan harga jual rendah dan hasil panen sulit terserap industri dalam negeri karena produk impor membanjir.
Tanpa pengendalian, tegas Mentan, kondisi ini dapat melemahkan semangat produksi dan memperluas kerugian petani di sentra-sentra utama singkong nasional.
Mentan menekankan, pengendalian impor singkong sejalan arahan direktif Presiden Prabowo Subianto perkuat ketahanan pangan nasional, optimalkan bahan baku lokal, dan mendukung hilirisasi industri dalam negeri.
Sebab itu, Kementan mendorong pelaksanaan Rakortas yang dipimpin Menko Perekonomian dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait, antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan.
“Jika produksi dalam negeri memadai, kenapa harus tergantung pada impor? Ini soal keberpihakan kepada petani dan soal keberanian mengambil keputusan strategis demi kedaulatan pangan kita,” tegasnya.
Langkah ini diharapkan jadi titik balik untuk membangkitkan gairah petani singkong, perkuat posisi tawar di pasar, serta mendukung program hilirisasi nasional yang berkelanjutan dan berbasis komoditas lokal.
Kendatipun secara bauran kebijakan, Lartas impor ubikayu (singkong) dan juga produk turunannya ini relatif pelik lagi “njelimet” lantaran terkait erat pula dengan kebijakan importasi komoditas lainnya yakni gandum.
Namun, kesemuanya selain tetap harus dengan kepala dingin menimbang perlu dan pentingnya untuk terus dan terus menjaga titik keseimbangan antara kemampuan dari kapasitas volume produksi singkong dalam negeri dengan besaran skala kebutuhan riil industri tapioka dalam negeri agar dapat terus berlangsung serba seiring sejalan dan mampu akumulatif, ekspansif, berkelanjutan.
Kesemuanya, juga terpulang kembali kepada goodwill segenap kekuatan pengampu kepentingan dan political will pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah sebagai regulator, tak lain tak bukan demi mewujudkan terciptanya sistem tata niaga ubikayu (singkong) dan produk turunannya seperti tapioka yang sama sekali: BERKEADILAN.
Kini, bahkan “anak singkong” pun turut serta harap-harap gemas menanti Laras, eh, Lartas. Semoga disemogakan. (Muzzamil)
#Lartas #LartasImporUbikayudanTurunannya
#Singkong #AnakSingkong #bongkarpost







