Foto. Istimewa
Bongkar Post, Bandar Lampung
Dugaan penyimpangan dalam pengelolaan aset milik Pemerintah Provinsi Lampung menyeruak ke permukaan.
Aset tanah seluas 112 hektare di kawasan Bandara Radin Inten II, Branti, Lampung Selatan, yang berada di bawah tanggung jawab Dinas Perhubungan (Dishub) Lampung, diduga menjadi sumber kebocoran retribusi daerah akibat lemahnya pengawasan dan praktik pembiaran birokrasi.
Sejumlah pihak menilai, pengelolaan aset publik tanpa akuntabilitas ini menjadi cermin dari lemahnya tata kelola keuangan daerah.
“Kalau target dan realisasi retribusi bisa berbeda sejauh itu, ini bukan lagi persoalan teknis. Ini sudah masuk dugaan penyimpangan serius. Harus ada audit investigatif dan pertanggungjawaban terbuka,” tegas pengamat kebijakan publik Reza Pahlepi, Sabtu (25/10/2025).
Aset Mengendap, Retribusinya Bocor
Aset tanah tersebut dibeli pada masa Gubernur Ridho Ficardo, dengan tujuan memperluas landasan Bandara Radin Inten II agar dapat menjadi bandara embarkasi haji.
Namun, setelah tampuk kepemimpinan berganti ke Gubernur Arinal Djunaidi, rencana strategis itu menguap tanpa kelanjutan.
Alih-alih digunakan sesuai peruntukan, tanah bersertifikat atas nama Pemprov Lampung itu justru disewakan oleh Kepala Desa Branti atas kepercayaan Kadishub Bambang Sumbogo.
Rata-rata harga sewa di lapangan mencapai Rp3,5 juta per hektare per tahun. Dengan total 112 hektare, potensi pendapatan daerah seharusnya mencapai Rp392 juta per tahun.
Namun kenyataan berkata lain. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2024 dalam LHP BPK RI Nomor 17A/LHP/XVIII.BLP/05/2025, realisasi pendapatan retribusi hanya Rp110,21 juta dari target Rp342,34 juta.
Selisihnya mencapai Rp282 juta, angka yang menandakan potensi kebocoran besar. Bahkan, dibanding tahun 2023, retribusi justru turun dari Rp121,6 juta menjadi Rp110,2 juta.
Dalih Pembangunan Gorong-Gorong dan Dugaan “Backing”
Kepala Desa Branti disebut-sebut mengakui sebagian dana sewa tanah digunakan untuk pembangunan gorong-gorong, bukan disetor ke kas daerah.
“Kadishub pernah sidak ke sini. Dia kaget lihat banyak warga sudah bercocok tanam di tanah Pemprov. Itu konsekuensi dari menyerahkan pengelolaan aset ke kepala desa tanpa ada tim pengawas dari Dishub,” ungkap seorang mantan ASN Dishub Lampung, Rabu (15/10/2025).
Dalam laporan BPK, Dishub beralasan rendahnya realisasi retribusi disebabkan oleh banyaknya warga penyewa yang belum membayar karena belum panen.
Dishub mengaku telah melakukan sosialisasi dan dua kali mengirimkan surat teguran. Namun, hingga akhir 2024, tagihan tetap tidak tertagih.
Penelusuran di lapangan justru menemukan dugaan adanya oknum Dishub dan aparat penegak hukum (APH) yang menjadi “backing” para penyewa.
“Banyak permainan di bawah tangan di lahan Bandara ini. Kalau pejabatnya tidak diganti, aset ini akan terus jadi bancakan,” kata seorang warga penyewa, Selasa (14/10/2025) malam.
Data Beda, Akurasi Dipertanyakan
Masalah lain muncul dalam ketidaksinkronan data retribusi. Dalam laporan Dishub kepada Ketua Komisi IV DPRD Lampung Mukhlis Basri, target retribusi tahun 2024 disebut sebesar Rp400 juta dengan realisasi Rp198,28 juta.
Namun, data resmi LKPD Pemprov Lampung 2024 yang ditandatangani Gubernur Rahmat Mirzani Djausal menunjukkan target Rp342,34 juta dan realisasi Rp110,21 juta. Ada selisih Rp88,07 juta antara laporan Dishub dan data resmi pemerintah provinsi.
“Perbedaan data antara dinas dan laporan resmi gubernur adalah hal serius. Ini bisa masuk kategori pelanggaran administrasi berat, bahkan indikasi manipulasi angka,” ujar Reza menegaskan.
Pengamat: Gubernur Harus Turun Tangan
Pengamat kebijakan publik Reza Pahlepi menilai kasus ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah. Ia menegaskan, lemahnya pengawasan aset daerah berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara dan memperlemah kepercayaan publik.
“Retribusi aset daerah bukan sekadar soal angka. Ini soal integritas pejabat publik. Kalau ratusan juta rupiah bisa bocor begitu saja, ini sinyal bahaya,” ujarnya.
Ia mendesak agar Gubernur Rahmat Mirzani Djausal segera menertibkan bawahannya.
“Jangan tunggu sampai BPK atau aparat penegak hukum yang bergerak. Pemprov harus berani bersih-bersih dari sekarang,” tegas Reza.
(Hingga berita ini ditayangkan, Kadis Perhubungan Bambang Sumbogo belum memberikan respons ataupun klarifikasi).







