Di Bawah Bayang Gunung Krakatau, Pulau Sebesi Justru Menyimpan Surga Wisata

Di Bawah Bayang Gunung Krakatau, Pulau Sebesi Justru Menyimpan Surga Wisata

 

Bacaan Lainnya

Bongkar Post, Lampung Selatan

Pulau Sebesi yang berada di perairan Selat Sunda selama ini identik dengan bayang-bayang aktivitas Anak Krakatau.

Namun di balik ancaman erupsi, pulau ini justru menyimpan potensi wisata bahari dan alam yang luar biasa, sekaligus cerita ketangguhan masyarakatnya.

Haiyun (52), tokoh masyarakat Pulau Sebesi, menuturkan bahwa sejak lama warga sudah terbiasa hidup berdampingan dengan aktivitas gunung berapi.

Menurutnya, meski erupsi besar 2018 sempat menimbulkan ketakutan, masyarakat tetap memilih kembali ke kampung halaman.

“Untuk sejarah Krakatau, Alhamdulillah sejak dulu memang aktif. Lalu pada 2018 itu bukan meletus, melainkan erupsi. Jadi karena itu tidak ada tamu yang datang, karena ketakutan akibat insiden itu,” kata Haiyun, saat di temui di Pulau Sebesi, pada Rabu, (3/9/2025), malam.

 

Sejarah dan Kehidupan Warga Sebesi

Pulau Sebesi tercatat pernah kosong dari penduduk akibat letusan besar Krakatau pada 1883. Dari sisa kaldera itu kemudian lahir Anak Krakatau pada 1927 yang masih aktif hingga kini.

Haiyun menuturkan, masyarakat Sebesi mayoritas berprofesi sebagai petani dan buruh kebun.

“Untuk penduduk Pulau Sebesi ini mayoritas 75 persen buruh petani dan pekebun, 25 persennya merupakan nelayan,” ujarnya.

Sebagian besar warga Pulau Sebesi berasal dari Jawa Serang atau Jaseng. Di pulau itu terdapat empat dusun, yakni Dusun Bangunan, Dusun Inpres, Dusun Regahan Lada, dan Dusun Segenom.

“Mayoritas masyarakat yang tinggal di Pulau Sebesi menganut (Jaseng) Jawa Serang. Ada 4 dusun yaitu Dusun Bangunan, Dusun Inpres, Dusun Regahan Lada, dan Dusun Segenom,” jelasnya.

Menurut cerita turun-temurun, Pulau Sebesi sempat ditinggalkan penduduk setelah letusan besar Krakatau karena rasa takut yang begitu kuat.

“Setelah gunung Krakatau meletus, Pulau Sebesi ini vakum, tidak ada penghuninya karena ketakutan. Namun kemudian ada tokoh masyarakat yang pernah datang ke sini, lalu menanam pohon kelapa. Sepuluh tahun kemudian, ketika ditengok kembali, dia memilih dan mulai dibangun gubuk-gubuk kecil untuk menetap. Itulah sejarah lahirnya Pulau Sebesi, menurut sepengetahuan saya,” ungkapnya.

 

Dampak Anak Krakatau

Meski aktivitas Anak Krakatau kerap menimbulkan kekhawatiran, masyarakat tetap beradaptasi.

“Jika Krakatau aktif, tidak ada pengaruh terhadap masyarakat kecuali jika erupsi, seperti waktu letusan 2018. Waktu saat itu masyarakat dievakuasi ke pegunungan,” ujar Haiyun.

Erupsi bahkan membawa dampak positif bagi sektor pertanian karena membuat tanah semakin subur. Haiyun menjelaskan, meskipun Anak Krakatau aktif, aktivitas masyarakat seperti bertani dan melaut tetap berjalan normal.

“Jika erupsi bisa menambah subur tanaman petani di Pulau Sebesi. Walaupun aktif, kegiatan nelayan dan petani tetap saja berjalan dan tidak berpengaruh,” katanya.

Ia menambahkan, masyarakat Sebesi memiliki ikatan kuat dengan tanah kelahiran mereka.

“Waktu kejadian longsor itu, masyarakat yang pergi meninggalkan Pulau Sebesi balik lagi ke sini, karena hati sudah menyatu di sini. Jangka 3-5 bulan penuh, masyarakat datang lagi ke sini. Penuh lagi,” tuturnya.

Jumlah penduduk kini mencapai ribuan jiwa. “Jumlahnya sekitar 800-an kepala keluarga, lebih dari 3.800 jiwa,” jelasnya. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk sekitar 2.800–3.000 jiwa.

 

Surga Wisata yang Belum Tergarap

Selain sektor pertanian dan perikanan, Pulau Sebesi juga menyimpan potensi besar di bidang wisata bahari dan ekowisata.

“Mengenai wisata, sangat mendukung sekali untuk kegiatan wisata di Pulau Sebesi. Bahkan ada antusias untuk menanam terumbu karang, untuk meningkatkan wisata. Anak-anak muda sudah berniat untuk menanam terumbu karang, namun belum ada support dari pihak-pihak lain. Kami berharap bisa ada support untuk mengembangkan wisata di Pulau Sebesi,” tegas Haiyun.

Masyarakat Pulau Sebesi juga mulai memberi perhatian serius pada upaya pelestarian lingkungan. Haiyun menuturkan, warga telah melakukan penanaman mangrove serta mengajak masyarakat agar tidak membuang sampah ke laut demi menjaga ekosistem tetap bersih.

“Kami di sini sudah menanam mangrove. Kami juga menjaga lingkungan, agar masyarakat tidak membuang sampah ke laut supaya tidak tercemar,” tambahnya.

Selain itu, potensi wisata bahari juga mulai dilirik, salah satunya wisata snorkeling. Menurut Haiyun, daya tarik yang sudah berkembang saat ini adalah terumbu karang di Pulau Umang-umang.

Sementara itu, anak-anak muda berencana mengembangkan wisata di Gunung Sebesi, meski akses jalan belum tersedia dan biaya untuk promosi masih menjadi kendala.

“Potensi wisata sekitar, snorkeling terumbu karang di Pulau Umang-umang. Baru umang-umang dan terumbu karang. Yang akan dikembangkan lagi oleh anak muda difokuskan ke Gunung Sebesi, karena aksesnya belum ada. Karena biayanya besar, untuk memulai promosi ke sana belum ada,” ungkapnya.

Ke depan, masyarakat berharap pemerintah provinsi ikut mendorong pembangunan infrastruktur wisata di pulau tersebut.

“Rencananya jika ada dana untuk membuat jalan kecil untuk motor naik ke atas. Kami harap dari provinsi dapat menginisiasi pembangunan, khususnya jalan wisata untuk pariwisata Gunung Sebesi. Diharapkan dengan adanya itu, bisa meningkatkan wisatawan untuk berkunjung,” pungkasnya.(Jim)

Pos terkait