Opini
Foto. Ilustrasi
Bungkamnya Pers, Publik Kehilangan Guru Bangsa
Dalam setiap peradaban yang beradab, pers memainkan peran krusial sebagai pilar keempat demokrasi, jembatan antara kekuasaan dan rakyat, serta pengawas independen yang mengawal jalannya pemerintahan. Namun, bagaimana jika pilar ini memilih untuk bungkam? Ketika insan pers, yang seharusnya menjadi suara nurani masyarakat, justru terdiam, apakah publik akan kehilangan “guru bangsa” yang selama ini membimbing mereka? Pertanyaan ini menjadi relevan dan mendesak untuk direfleksikan.
Pers, dalam idealnya, adalah “guru bangsa”. Bukan dalam artian formal seperti guru di sekolah, melainkan sebagai entitas yang mencerahkan, mendidik, dan membuka wawasan publik.
Melalui liputan yang mendalam, investigasi yang berani, dan analisis yang tajam, pers mengajari kita tentang kebenaran, keadilan, dan hak-hak kita sebagai warga negara. Mereka adalah mata dan telinga yang menjangkau tempat-tempat yang tak terjamah oleh masyarakat umum, mengungkap fakta-fakta yang disembunyikan, dan menyuarakan keluhan-keluhan yang dibungkam.
Namun, belakangan ini, ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Tekanan politik, kepentingan ekonomi, dan ancaman terhadap kebebasan pers semakin nyata. Di tengah kondisi ini, tidak sedikit insan pers yang memilih untuk “bermain aman.”
Berita-berita yang seharusnya menjadi sorotan utama justru dibelokkan atau dilunakkan. Isu-isu sensitif dihindari, kritik terhadap penguasa dibungkam, dan informasi yang merugikan pihak-pihak tertentu disensor.
Ketika fenomena ini terjadi, publik akan menjadi korban utamanya. Tanpa pers yang berani, masyarakat akan kehilangan “kompas moral dan intelektual”.
Mereka tidak lagi mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang untuk membuat keputusan yang bijak, baik dalam memilih pemimpin, mengawasi kebijakan pemerintah, maupun memahami dinamika sosial yang terjadi. Ruang publik akan dipenuhi oleh berita-berita yang seragam, dangkal, dan terkadang disinformasi yang disebarkan oleh pihak-pihak berkepentingan.
Lebih jauh lagi, bungkamnya pers akan menciptakan kekosongan informasi yang bisa dimanfaatkan. Disinformasi, hoaks, dan propaganda akan mudah menyebar, merusak nalar kritis masyarakat dan memecah belah persatuan. Masyarakat yang tidak terdidik secara informasi akan mudah digiring opini-nya, membuat mereka rentan menjadi objek manipulasi.
Oleh karena itu, peran insan pers saat ini sangatlah krusial. Mereka dituntut untuk tidak hanya sekadar menyampaikan berita, tetapi juga berani menjadi penjaga kebenaran. Menghadapi tantangan ini, diperlukan keberanian, integritas, dan komitmen yang kuat untuk tetap berdiri tegak di atas prinsip-prinsip jurnalistik. Pers harus kembali menjadi pengawal demokrasi yang tak kenal takut, pengawas yang jujur, dan pendidik yang mencerahkan.
Jika pers memilih untuk bungkam, maka publik tidak hanya kehilangan suara, melainkan juga kehilangan “guru bangsa” yang selama ini menjadi penerang jalan. Kehilangan ini adalah kerugian besar yang tak ternilai, karena tanpa pers yang merdeka, kita semua akan hidup dalam kegelapan informasi, kehilangan arah, dan akhirnya, kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab. (Red/Rusmin)