Bongkar Post – Scarring Effect Pandemi, 9,48 Juta Penduduk Kelas Menengah RI Turun ke Rentan Miskin

Pekerja menyeberangi Jl Sudirman, Jakarta, saat jam pulang kerja di masa pandemi COVID-19. | Eusobio Crysnamurti/Hypeabis.id/Muzzamil

Bongkar Post

Bacaan Lainnya

BANDARLAMPUNG — Bak pengeroposan tulang atau penggerusan lapisan email gigi, tercatat sekurun lima tahun terakhir, jumlah populasi orang Indonesia yang terkategori golongan ekonomi kelas menengah, menurun dari dari 57,33 juta orang setara 21,45 persen pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang setara 17,13 persen pada tahun 2024 ini.

Kata lain, terdapat sekitar 9,48 juta jiwa rakyat negeri gemah ripah lohjinawi ini kurun lima tahun ini keluar dari kategori kelas menengah, terpaksa “turun kasta” kategori lebih rendah, alias rentan miskin. Kismin, bosque. Oh, no!

Fakta tak terelakkan ini, Pelaksana Teknis (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, ungkapkan dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/8/2024) lalu, disaripatikan ulang di Bandarlampung Jum’at, dari rilis DPR dan BPS.

Plt Kepala BPS karib disapa Winny ini bilang, penurunan jumlah penduduk kelas menengah tersebut sejatinya merupakan salah satu scarring effect atau efek jangka panjang akibat dari pandemi global COVID-19.

“Tahun 2021 itu kelas menengah jumlahnya 53,83 juta dengan proporsi 19,82 persen. Dan terakhir di tahun 2024 jumlahnya 47,85 juta dengan proporsi 17,13,” ungkap data Winny, mengeropos tergerusnya kelas menengah RI.

Sarjana ITB, Magister Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, Amerika Serikat dan doktor jebolan University of Melbourne, Australia ini menjelenterehkan, penurunan jumlah populasi kelas menengah tersebut diiringi jua dengan peningkatan jumlah penduduk yang masuk kategori aspiring middle class, atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah. Alias, kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah.

Mantan Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, dan Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Ekonomi tahun 2020-2023 ini menjembreng data, 137,5 juta orang dari total penduduk RI setara 49,22 persen pada 2024 masuk kategori aspiring middle class ini.

“Naik dari 128,85 juta orang pada 2019. Yang 137,5 juta jiwa ini sebenarnya bisa kemudian di-upgrade, untuk mudah untuk di-upgrade menjadi kelas menengah. Namun, banyak dari penduduk kelas menengah saat ini berada di ambang batas bawah kelompok mereka, dengan rerata pengeluaran sekitar Rp2,04 juta per kapita per bulan. Sehingga, ada kerentanan kalau nanti terganggu, dia masuk kembali ke aspiring middle class,” ujar Winny memboyong alarm pengingat.

Sempat diminta keterangan klarifikasi tentang definisi dan kriteria yang digunakan oleh BPS untuk mengklasifikasikan penduduk ke dalam kelompok-kelompok itu, seperti disorong oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Dolfie Othniel Frederic Palit, lalu Winny menyebut BPS menggunakan kriteria Bank Dunia.

Disebutkan, untuk kelas menengah: mereka yang memiliki pengeluaran 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan. Untuk aspiring middle class: mereka yang memiliki pengeluaran 1,5 hingga 3,5 kali garis kemiskinan.

Data yang dipaparkan Amalia menunjukkan penurunan yang signifikan pada jumlah kelas menengah, yang awalnya 57,33 juta orang (21,45 persen) pada tahun 2019 menjadi hanya 47,85 juta orang (17,13 persen) pada 2024. Sebaliknya, kelompok aspiring middle class meningkat dari 128,85 juta orang pada 2019 menjadi 137,5 juta orang pada 2024.

Paparan lain kriteria pengelompokan kelas berdasar pengeluaran per kapita per bulan, sebut ia, untuk 2024, mereka yang tergolong kelas menengah memiliki pengeluaran antara Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta, sementara yang tergolong aspiring middle class berada di antara Rp874.398 hingga Rp2,04 juta per kapita per bulan.

“Kriteria ini menunjukkan banyak orang di kelas menengah berada dalam posisi yang rentan dan berpotensi turun ke kelompok yang lebih rendah jika terjadi guncangan ekonomi,” tarik simpul ia.

Gimana dengan sektor bekerjanya, Bu Winny? “Kelas menengah di Indonesia sebagian besar bekerja di sektor jasa 57 persen, diikuti sektor industri 22,98 persen, pertanian 19,97 persen.”

Tak lupa, Winny juga mengelaborasi data perubahan pola pengeluaran kelas menengah negeri Zamrud Khatulistiwa ini. “Dalam 10 tahun terakhir terjadi pergeseran prioritas pengeluaran kelas menengah. Dulu, sekitar 45,53 persen pengeluaran kelas menengah ditujukan untuk makanan minuman, sekarang angkanya turun jadi 41,67 persen,” beber ia.

Pengeluaran untuk perumahan juga menurun dari lebih dari 32 persen menjadi sekitar 28,5 persen. “Sebaliknya, terjadi peningkatan pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya, termasuk kebutuhan pesta, naik dari 0,75 persen jadi 3,18 persen, serta hiburan yang mulai menebal menjadi 0,38 persen,” imbuh ia, secara umum, prioritas pengeluaran kelas menengah kini adalah makanan, perumahan, dan barang jasa lainnya.

Hayo, “bani hisap” yang dulunya “pas-pus” nikmati tembakau filter jenama top lantas kini beralih ke “tingwe” alias “linting dhewe” nan konon diasosiasikan sebagai ilustrasi riil dari fenomena “downtrading” bagian dari scarring effect imbas buas pagebluk COVID-19, mana suaranya? (Muzzamil)

Pos terkait