Bongkar Post – Dikukuhkan Gubernur, PPTTI Diharapkan Jadi Motor Reformasi Industri Tapioka

Dikukuhkan Gubernur, PPTTI Diharapkan Jadi Motor Reformasi Industri Tapioka

 

Bacaan Lainnya

Bongkarpost.co.id, Bandar Lampung

Setelah hampir empat dekade berjalan tanpa organisasi formal, industri tapioka di Provinsi Lampung akhirnya memiliki wadah resmi. Pengurus Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) masa bakti 2025–2030 resmi dikukuhkan oleh Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, di Balai Keratun, Senin (19/5).

Sebanyak 39 perusahaan pengolahan tapioka tergabung dalam organisasi ini. Acara pengukuhan dihadiri jajaran pimpinan organisasi petani singkong, pemilik pabrik, serta para pemangku kepentingan dari lingkungan Pemprov Lampung, serta perwakilan dari kementerian.

Dalam sambutannya, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal menyampaikan komitmen penuh untuk membenahi tata niaga dan kebijakan industri tapioka di Lampung yang selama ini kurang mendapatkan perhatian meski punya kontribusi besar secara ekonomi.

“Pertama-tama, atas nama Pemerintah Provinsi Lampung, saya mengucapkan selamat dan sukses kepada jajaran pengurus PPTTI yang baru saja dikukuhkan. Semoga amanah ini dijalankan dengan penuh integritas, inovasi, dan semangat kolaborasi demi kemajuan industri tapioka nasional, khususnya dari Lampung,” ucap Gubernur Mirza.

Ia menegaskan bahwa industri singkong dan tapioka memiliki peran sentral dalam perekonomian daerah.

“Nilai ekonomi yang berputar setiap tahun di Provinsi Lampung mencapai Rp480 triliun. Sayangnya, sebagian besar uang itu justru mengalir keluar daerah karena industrinya belum sepenuhnya milik masyarakat lokal,” katanya.

Namun berbeda dari sektor lain, industri tapioka dinilai istimewa karena hampir seluruh rantai produksinya digerakkan oleh putra-putri daerah.

“Kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung mencapai 7–8%. Ini lebih besar dibandingkan kontribusi dari APBD provinsi dan kabupaten/kota yang hanya sekitar 6%,” ujar Mirza.

Ia mengingatkan bahwa Lampung telah memimpin pasar nasional dengan produksi tepung tapioka sebesar 40% hingga 51%. Dengan kekuatan pasar sebesar itu, Gubernur menilai sudah seharusnya Lampung punya daya tawar kuat dalam menyusun kebijakan di tingkat nasional.

Namun ia juga menyoroti fakta bahwa petani belum benar-benar merasakan manfaat dari kekuatan ini.

“Kita harus jujur petani kita sudah terlalu lama bersabar. Sejak 2021, harga singkong tidak pernah naik signifikan. Bahkan stagnan selama lima tahun terakhir,” tegasnya.

Gubernur Mirza menyerukan penataan ulang regulasi, termasuk akurasi data tanam dan panen yang menurutnya masih jauh dari kenyataan.

“BPS mencatat hanya 225.000 hektare, padahal dengan produksi mencapai 4 juta ton, seharusnya jauh lebih besar. Salah data berarti salah kebijakan. Kalau data tanam dan panen keliru, kebijakan impor pun pasti melenceng,” tandasnya.

Ia juga mengajak kementerian dan BPS untuk bekerja lebih dekat dengan psikologi petani.

“Masyarakat Lampung punya budaya tersendiri saat hujan datang, mereka menanam singkong. Ini bukan sekadar pilihan, tapi bagian dari strategi bertahan hidup,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua PPTTI, Welly Soegiono, menyampaikan harapannya atas terbentuknya organisasi ini. Ia menekankan pentingnya menyelesaikan masalah dengan bijak dan menjunjung rasa kebersamaan antar pelaku industri.

“Kesulitan sehari cukuplah sehari, karena esok ada hari yang baru. Dengan kepengurusan ini, kita belajar bahwa dalam setiap tantangan, selalu ada jalan keluar. Ini pelajaran berharga, baik bagi industri tapioka maupun para petani singkong di Lampung,” ujar Welly.

Ia menambahkan, konflik antar pelaku industri hanya akan merugikan semua pihak. “Alhamdulillah, saat ini sudah ada keputusan dari Pak Gubernur. Mari kita duduk bersama, karena tidak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan amarah. Amarah itu berasal dari setan,” katanya.

Welly juga menyoroti dampak serius dari impor tapioka dan ketidakakuratan data produksi.

“Harga tapioka impor bisa hanya Rp6.300 per kilogram. Ini sangat memukul industri dalam negeri. Maka, kami berharap adanya mekanisme anti-dumping dan penetapan harga nasional yang adil,” jelasnya.

Menurutnya, akar dari banyak persoalan adalah data yang tidak sesuai realitas.

“Data resmi menyebut Lampung hanya menghasilkan 1,6 juta ton, padahal kenyataannya bisa lebih dari 4 juta ton. Ketika data salah, kebijakan ikut salah. Petani merugi, perusahaan tidak bisa bersaing karena ditekan impor dan produk dari provinsi lain,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyoroti lemahnya dukungan terhadap pengembangan bibit unggul.

“Sampai hari ini belum ada satu pun bibit unggul singkong yang benar-benar dirilis pemerintah. Berbeda dengan Thailand yang bisa menghasilkan 50 ton per hektare. Kita tertinggal karena perhatian pemerintah belum maksimal,” kritiknya.

Welly juga mengkritisi pola tanam petani yang belum berbasis ilmu.

“Maaf, saya harus jujur, sebagian petani kita menanam singkong bukan dengan pendekatan agronomi yang benar, tapi hanya mengandalkan doa dan berharap rezeki anak saleh. Kalau pendekatannya seperti itu, kita sulit bersaing di pasar global,” tegasnya.

Menutup pernyataannya, ia menyampaikan optimisme bahwa Indonesia bisa menjadi kekuatan pangan dunia 2045, asal petani diberikan insentif yang layak.

“Petani harus untung dulu, baru mereka mau tanam. Ini prinsip dasarnya. Kami juga ajak para pengusaha untuk mengambil tindakan konkret bersama, demi industri tapioka yang lebih sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya.(Jim)

Pos terkait