Bongkar Post – Cahyalana, S.Sos : Calon Tunggal atau Tidak Sama Saja, Bedanya Siapa yang Menuai “Panen”

Foto. Cahyalana, S.Sos., Aktivis Prodem, Eksponen 98.

Bongkar Post

Bacaan Lainnya

Bandar Lampung,

Kental terasa isu politik yang beredar hari-hari ini. Seolah-olah ada penggiringan opini bahwa Pilkada 2024 di Provinsi Lampung didominasi calon tunggal versus “kotak kosong”.

Tanggapan publik beragam. Momen yang tepat bagi elemen penggiat demokratisasi, para aktifis politik, dan akademisi bicara. Ini yang akan dikatakan oleh Cahyalana, S.Sos., aktivis PRD, bagian dari gerakan prodem era 98, serta pemerhati sosial politik asli putra Way Kanan.

“Wacana calon tunggal versus kotak kosong baik di tataran pilgub ataupun kabupaten kota menguat akhir-akhir ini. Lebih etis lagi bila jangan bicara kotak kosonglah, namun head to head atau calon tunggal. Ini berimplikasi pada pemahaman politik bagi rakyat,” bebernya kepada bongkarpost.co.id via ponsel pagi tadi (5/08/2024).

Dikatakan Cay sapaan akrabnya, tahapan penjaringan, rekom dan surat tugas dari parpol, pendaftaran paslon, sampai penetapan oleh KPUD adalah serangkaian proses politik yang panjang. Tidak mudah dan melalui serangkaian kerja keras bagi tiap calon baik wilayah pilgub maupun pilbup/pilwakot pada pilkada 2024.

“Banyak energi yang sudah dikeluarkan dalam proses politik ini, ada rivalitas politik, lobi-lobi politik, dan lain-lain. Persaingan hal yang biasa dalam demokrasi, dan rangkaian proses politik yang terjadi demikian juga harus dimaknai proses demokrasi walaupun masih dalam tahap demokrasi prosedural. Namun sayangnya, belum dalam makna demokrasi yang ideal,” pungkas Cay kepada media ini.

Bila ada yang memaknai calon tunggal hanya sebatas demokrasi prosedural, ada kompetitor atau banyak calon pun juga demokrasi bersifat prosedural bila bicara esensi yang terjadi hari ini.

Karenanya kepala daerah yang terpilih berdasarkan pilihan rasional dengan memilih atas pertimbangan track record, figur, visi – misi, program dan sebagainya, per hari ini sulit dengan menggejalanya politik transaksional disemua level. Artinya secara kualitatif hasil proses demokrasi dengan banyaknya kompetitor yang disuguhkan juga patut dipertanyakan dari aspek kualitas? Muaranya adalah masih rendahnya tingkat kesadaran partisipasi pemilih dari aspek berkesadaran politik yang sesungguhnya (kesadaran ekonomis).

Terus terang kata Cay, bila benar-benar terjadi pada saat pemilihan nanti ada calon tunggal atau pun head to head alias 2 calon, maka banyak pihak merasa dirugikan hak politiknya terutama di tingkatan grassroots (akar rumput).

Mereka punya fanatisme terhadap calon tertentu, mereka dirugikan alias “tidak ikut panen”. Begitu juga katakanlah pada level menengah ke atas pasti punya kepentingan subyektif. Ada kiprah kelompok tertentu seperti broker, ada kader parpol, struktur partai semisal ikut bermain, dan sebagainya sampai taraf elit politik pusat sebagai pemutus.

“Belum lagi bicara soal koalisi parpol untuk memenangkan calon tertentu, itu sebuah keniscayaan. Secara obyektif saya katakan, bahwa momen ini harus dijadikan pembelajaran yang baik bagi elemen demokrasi, aktifis politik, dan tentunya partai politik yang sejatinya sebagai sekolah politik bagi rakyat,” pungkas Cahyalana.

Diakhir pembicaraan, dia berharap menginjeksi kesadaran politik rakyat adalah tugas bersama, bukan dibebankan bagi personal atau kelompok tertentu. Pemahaman kesadaran berdemokrasi yang benar harus dipasok terus-menerus, kontinyu, dan massif.

“Tidak hanya pada momen lima tahunan euforia jelang pilkada atau pileg belaka. Namun mindset ini mesti ditularkan secara massif dan kontinyu tanpa kenal waktu dan momen tertentu,” tutupnya. (Nop)

Pos terkait