Potensi dan Tantangan BBL di Provinsi Lampung*
Provinsi Lampung dengan luas wilayah 60.200,9 Km2; Luas perairan laut 12 mil (24.820 Km2); Luas pesisir 440.010 Ha; Panjang garis pantai 1.182 Km. Adalah merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi penghasil lobster terbanyak sebagaimana wilayah-wilayah pesisir pantai lainnya seperti Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, Banten dan Nusa Tenggara Barat.
Dan, bukan tidak mungkin potensi sumber daya laut yang dimiliki Lampung bila tata kelolanya diatur sedemikian rupa berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan kata lain bisa memberikan konstribusi secara signifikan untuk keuangan retribusi daerah (Kasda).
Bagaimana tidak, potensi BBL melimpah ruwah di wilayah pesisir barat Lampung, yang terkonsentrasi di dua kabupaten dengan berbatasan langsung ke Samudera Hindia, yakni Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar). Sayangnya, terkesan kurang optimal dalam tata kelolanya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Surat Keterangan Asal (SKA) Lobster yang telah diterbitkan . Untuk Provinsi Lampung paling rendah dibanding dengan provinsi tetangga. (lihat tabel)
Untuk diketahui, SKA adalah merupakan indikator adanya transaksi jual beli BBL serta aktivitas penangkapan BBL oleh nelayan, traceability memastikan produk hasil tangkapan nelayan. Atas dasar SKA inilah pemerintah bisa melakukan pungutan retribusi. Artinya semakin banyak SKA terbit semakin banyak pula retribusi daerah yang mengalir masuk ke kas daerah.
Didalam SKA memuat identitas nelayan penangkap, pemasar dan pembudidaya, nama kelompok usaha bersama (KUB) nelayan, lokasi penangkapan lobster dan pendaratan, jumlah lobster hasil tangkapan, sisa kuota lobster yang boleh ditangkap oleh nelayan dan lainnya, semua dimuat secara terperinci, detail dan terintegrasi pada sistem data aplikasi SILOKER.
Menanggapi hal ini, Zainal K, Kabid Perikanan Tangkap DKP Provinsi Lampung, tekait sangat minimnya SKA yang diterbitkan, dia pun angkat bicara memberi keterangan kepada wartawan, menurutnya, hal itu dikarenakan selama ini aturan yang ada tidak dijalankan, namun sekarang sejak dia menjabat Kabid Perikanan Tangkap DKP Provinsi Lampung, semua kebijakan tata kelola BBL dijalankan sesuai aturan yang berlaku.
“Sebagai implementasi Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2024 dan Implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024. Kami selalu mensosialisasikan kepada nelayan dan siap memfasilitasi para nelayan untuk memiliki dokumen izin resmi dalam melaksanakan aktivitas penangkapan BBL, karena ini memang berkaitan dengan tanggung jawab Bidang Perikanan Tangkap selaku pencacah,” kata Zainal.
Lebih jauh Zainal menjelaskan, dukungan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan di Bidang Perikanan Tangkap, yakni ;
Memfasilitasi nelayan kecil penangkap BBL dalam memiliki Nomor Induk Berusaha NIB, dengan kode KBLI : (03115) Penangkapan/Pengambilan Induk Benih Ikan di Laut. Dan Bergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) minimal 10 orang.
Dinas Provinsi menetapkan kelompok nelayan penangkap BBL berdasarkan rekomendasi Dinas Kabupaten/Kota.
Dinas Kabupaten/Kota menerbitkan Surat Keterangan Asal (SKA) untuk memastikan traceability produk hasil tangkapan nelayan.
Dinas Provinsi melaksanakan pendataan hasil tangkapan BBL dalam mendukung upaya pemantauan sumber daya BBL
“Dan, sekarang sudah jalan (kebijakan, red) terutama di Pesisir Barat, Alhamdulillah sudah berdampak ke retribusi daerah serta pendapatan masyarakat, dan mengurangi praktek ilegal fishing di Lampung”, ungkap Zainal.
“Potensinya sangat besar dari tata kelola BBL yang sudah berjalan dengan baik ini, realisasi PAD Lampung dari sektor kelautan Bidang Perikanan Tangkap bisa masuk puluhan miliar rupiah”, ucap Zainal dengan nada optimis, menutup perbincangan.
Sanksi Pidana dan Denda, Ilegal Fishing
UU RI Nomor 31 Tahun 2024
Pasal 16 : Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan kedalam dan/atau keluar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Pasal 88 : Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumber daya ikan, dan atau lingkungan sumber daya ikan kedalam dan/atau keluar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta).
(rusmin)