Artikel – Pers Harus Independen, Tapi Harus Memihak Akal Sehat

 

Artikel

Bacaan Lainnya

Pers Harus Independen, Tapi Harus Memihak Akal Sehat

 

Oleh : Rustam Fachri Mandayun

Pemerhati media

 

Jika media menyatakan memihak –secara terbuka- pada kekuatan politik tertentu, dalam memproduksi dan menyajikan produk jurnalistik, maka pagar Kode Etik Jurnalistik tetap menjadi batasannya. kebijakan redaksi tersebut harus disepakati suka-rela oleh pengelola, sampai dengan wartawannya. Tidak boleh ada paksaan, yang artinya tidak boleh ada intervensi. Keberpihakan pada kelompok atau individu tertentu harus menjadi kesediaan bersama. Kesadaran bersama.

Hari-hari ini adalah hari yang penuh dengan gelaran politik. Masa-masa menuju Pemilihan Presiden ( dan wakilnya), Kepala Daerah serta calon legislatif di berbagai tingkatan seolah menjadi topik utama yang mengisi ruang-ruang publik–-maupun pribadi di negeri kita; Indonesia.

Semua sumber informasi apapun bentuknya menjadi saluran dan dimanfaatkan sebagai alat untuk menggaungkan ajakan : Pilihlah aku! Termasuk di dalamnya media (pers).

Dalam sebuah kesempatan diskusi tentang pers, ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam “bulan-bulan kampanye” ini, pers atau media harus netral dalam memberitakan perihal politik, lebih spesifik tentang gelaran pemilhan presiden, kepala daerah dan anggota legisltaif. Saya jadi ingat bahwa pada suatu kesempatan, Prof. Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan profesor hukum berintegritas, kurang lebih mengatakan; pers tidak harus netral. Tapi harus mandiri.

Yang dimaksud dengan “netral” di sini dengan pengertian tidak memihak kepada pihak, golongan manapun atau kepada siapapun. Hal yang dimaksud dengan independen, sebagaimana yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 yang menyatakan; “Wartawan Indonesia menyatakan kemerdekaannya , menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. “

Adapun penafsiran kata merdeka dalam pasal tersebut dinyatakan: ”huruf (a). Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.”

Sudah jelas di sini bahwa yang menjadi pedoman utama seorang wartawan –dan tentu saja berita yang dihasilkannya– adalah suara hati nurani. Jelasnya, patokannya di sini adalah landasan moral, etik. Dalam bahasa saya, dalam tataran praksis terkandung nilai : “pertimbangan akal sehat”, akal sehat . Dengan kata lain, pers harus memihak; memihak kepada kebenaran.

Kita tahu, bahwa dalam kontestasi politik saat ini ada grup media yang terafiliasi dengan partai politik tertentu dan bahkan dimiki oleh “pemilik” partai tersebut. Tentu saja partai-partai tersebut punya calon presiden dan calon wakil presidennya sendiri-sendiri. Di daerahpun demikian. Bahkan ada media yang didirikan dengan tujuan mendukung calon-calon tertentu. Apakah Calon Presiden atau tingkat Kepala Daerah serta calon anggota legislatif.

Meskipun muskil, hampir tidak masuk akal, tetap harus terus diingatkan kepada wartawan, para pemilik media, sekaligus pemilik partai, bahwa mereka harus menumbuhkan sikap independensi dalam budaya kerja keredaksian mereka. Suatu keharusan, meskipun mungkin mimpi.

Kalaupun keinginan berpolitik si pemilik media tidak didukung untuk memanfaatkan medianya, maka si pemilik (dan pengelolanya) harus secara adil menyatakan sikap redaksionalnya atas keberpihakan kepada kelompok atau pihak tertentu atau individu tertentu. Jangan berpura-pura tidak berpihak. Jangan “ muna” , kata anak sekarang. Janganpura-pura netral. Pemirsa maupun pembaca tahu kok .

Tapi tetap perlu diingat, kalaupun menyatakan memihak –secara terbuka- dalam memproduksi dan menyajikan produk jurnalistik, maka pagar Kode Etik Jurnalistik tetap menjadi batasannya. Selain itu, kebijakan redaksi tersebut harus disepakati dengan suka rela oleh pengelola, sampai dengan wartawannya. Tidak boleh ada paksaan, yang artinya tidak boleh ada intervensi. Keberpihakan pada kelompok atau individu tertentu harus menjadi kesediaan bersama. Kesadaran bersama.

Dalam betuk yang ideal, esensial, sebetulnya media (baca: Koran) di masa masa perjuangan atau awal-awal kemerdekaan, lumrah saja jika mereka membangun media dengan tujuan untuk memperjuangan kelompok atau nilai-nilai tertentu yang diingankan oleh media tersebut. Misalnya, memerdekakan diri dari penjajahan atau mempromosikan ideologi tertentu. Itulah fakta sejarah. Tidak ada intervensi dalam pilihan sikap politik keredaksiannya. Dilakukan secara terbuka.

Sikap itu pula yang ditampilkan oleh Majalah Berita Mingguan Tempo, harian Koran Tempo dan harian The Jakarta Post ketika di Pemilihan Presiden tahun 2014. Mungkin juga media-media yang lain.

Lewat rubrik Opini, Tempo menurunkan editorial yang berjudul: ”Jalan Abu-abu Prabowo,” edisi 3 November 2013. Dalam editorial tersebut ditulis:” ADA banyak produk reformasi gagal. Di antaranya rezim pengganti Orde Baru yang tak pernah datang membawa Soeharto ke pengadilan hingga meninggal pada tahun 2008. Padahal penguasa 32 tahun itu dituduh terlibat banyak kasus korupsi. Rezim baru juga tak pernah mengadili pembantu-pembantu Soeharto yang lancung atau pemimpin militernya yang banyak melanggar hak asasi manusia.

Prabowo Subianto merupakan salah satu turunan dari produk gagal reformasi itu. Dituduh bertanggung jawab atas penculikan sejumlah aktivisme pada 1997-1998, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini tak pernah disemati statusnya sebagai penipu. Kejahatan kemanusiaan yang dia lakukan bersama penyelesaian secara politis, yaitu melalui Dewan Kehormatan Perwira bentukan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Menurut Tempo , atas rekomendasi Dewan Kehormatan, Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto menghentikan anggotanya dengan tidak menghormati Prabowo. Menurut editorial tersebut, Jenderal bintang tiga itu lalu “lari” ke Yordania selama dua tahun. Dia tak pernah ditugaskan ke pengadilan. Jadi, sebenarnya dia baru menerima sanksi politis-administratif—bukan hukuman pidana.

Media yang masih satu grup dengan Majalah Berita Mingguan Tempo , yakni harian Koran Tempo menerbitkan editorial dengan judul Memilih Pemimpin pada 09 Jul 2014. Dalam editorial tersebut, Koran Tempo antara lain menulis: “Prabowo terlihat tegas. Tapi ia tampak lebih emosional, kurang bisa memberikan rasa tenang bagi rakyat…,”

Selanjutnya Koran Tempo menulis; “ …Mudah dibayangkan pula, Prabowo akan sulit menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ia akan dibebani oleh kasus penculikan aktivisme prodemokrasi pada tahun 1997-1998. Gara-gara kasus ini pula Prabowo diberhentikan dari militer.….

“Indonesia memerlukan pemimpin yang tak terbelit masalah hukum, mampu melaksanakan ide, sekaligus membawa perubahan yang signifikan. Kalau tak bisa menemukan sosok ideal, resep yang paling mudah: cobloslah pasangan yang lebih kecil mudaratnya bagi republik ini. Rasanya resep ini masih berlaku hingga sekarang. Sebagai menteri di kabinet Jokowi, adakah prestasinya yang menonjol?

The Jakarta Post, pada masa yang sama – ketika Jokowi bersaing dengan Prabowo, muncul dengan editorial berjudul: “Endorsing Jokowi”.

Tidak ada kata netral ketika taruhannya sangat besar. Sambil berupaya sebaik mungkin untuk tetap obyektif dalam pemberitaan kami, jurnalisme kami selaluberpijak pada keyakinan akan landasan moral yang benar ketika pilihan-pilihan penting harus diambil”. (Artikel ini dimuat di thejakartapost.com dengan judul “Editorial: Mendukung Jokowi”. Klik untuk membaca: https://www.thejakartapost.com/news/2014/07/04/editorial-endorsing-jokowi.html.

Jadi, ketika taruhannya adalah kepentingan bangsa ke depan, netral bukanlah pilihan. Meski tetap objektif dalam pemberitaan, The Jakarta Post berpendapat bahwa jurnalismenya harus berpijak pada keyakinan akan landasan moral yang benar.

Meskipun harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan, pengelola media-media tersebut yakin bahwa pada saat masyarakat membutuhkan, bangsa, media harus menyatakan sikapnya. Media yang menjalankan salah satu fungsinya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 6 menyatakan: Pers nasional menyelenggarakan, antara lain: e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Bagaimana dengan kemunculan Gibran sebagai calon wakil presiden? Apakah dia mucul melalui proses yang adil dan benar? Media menyoroti cacat demokrasi yang melahirkan pria asal Solo ini ke panggung Pemilihan Presiden. Sumbernya adalah keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyidangkan aduan keputusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Sidang MKMK memastikan apakah Majelis Mahkamah Konstitusi sudah berpegang pada prosedur etik yang seharusnya ketika memutus perkara yang memiliki potensi konflik kepentingan di antara hakim Konstitusi.

Utamanya, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. Anwar adalah paman dari Cawapres Prabowo, Gibran Rakabuming Raka. Anwar Usman dinyatakan melanggar etik dan dicopot sebagai Ketua MK.

Orang kemudian berkomentar, media menelisik, apakah keputusan majelis MK yang lahir dari majelis yang cacat etika, menghasilkan produk yang menjunjung tinggi moral? Kembali ke editorial Tha Jakarta Post di atas,: “ jurnalisme kami selalu berpijak pada keyakinan akan landasan moral yang benar ketika pilihan-pilihan penting harus diambil.” Itulah kuncinya: Pilihlah pemimpin yang muncul dari proses yang landasan moralnya benar.

Dengan sedikit modifikasi, wajar dampaknya dalam editorial yang sekarang Tempo dan media-media lainnya mengingatkan: Masih ada waktu bagi 204,8 juta calon pemilih untuk menimbang-nimbang setiap calon. Kita tentu menghasilkan ingin pemimpin yang terbaik, bukan salah satu produk gagal reformasi yang pintar beretorika atau menelikung konstitusi lewat nepotisme.**

Pos terkait