Antara Pengedar, Pelaku dan Korban Narkoba

Oleh: Gunawan Handoko 

Bongkarpost.co.id

Bacaan Lainnya

Lampung,

Akhirnya Aliansi Anti Narkoba Lampung yang terdiri berbagai organisasi masyarakat, LSM dan praktisi hukum mendatangi kantor Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Lampung. Inisiator aksi Destra Yudha, S.H., M.H., M.Si. menyampaikan tuntutan terkait penanganan kasus narkoba yang tertangkap di Karaoke Astronom, Hotel Mercurie pada 28 Agustus 2025 lalu.

Ada tiga tuntutan yang disampaikan, pertama, minta agar BNNP Lampung membatalkan hasil asesmen rehabilitasi rawat jalan bagi 10 orang yang sempat digrebek saat pesta barang haram di Karaoke Astronom. Kedua, agar BNNP Lampung menahan kembali ke 10 orang tersebut sampai ada keputusan Pengadilan.

Dan ketiga, agar BNNP Lampung menangkap penyuplai narkoba, serta meminta Propam Mabes Polri memeriksa dugaan suap yang melibatkan oknum BNPP Lampung. Aliansi Anti Narkoba Lampung memberi tenggang waktu 6 hari kepada BNNP Lampung untuk memberi jawaban. Atas tuntutan tersebut, Plt Kepala BNNP Lampung Kombes Karyoto berjanji akan menindaklanjuti dengan melapor kepada pimpinan.

Sebelumnya, sudah banyak pihak yang mengingatkan sekaligus ‘memberi nasehat’ agar BNPP Lampung tidak grusah-grusuh dalam membuat keputusan, tidak diskriminatif dan tidak salah. Guru Besar Hukum Universitas Lampung, Profesor Hamzah menilai langkah penyidik BNNP Lampung bukan hanya janggal, tapi juga keliru secara hukum. Menurutnya, dasar hukumnya salah kaprah dengan menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010.

Padahal SEMA tersebut ditujukan untuk para hakim, bukan penyidik. Maka ketika BNNP Lampung memutus para pelaku untuk direhabilitasi tanpa sidang, menurutnya hal yang aneh. SEMA itu mengatur batas rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Untuk jenis ekstasi, ambang batas hanya satu butir.

Jika lebih, seharusnya perkara tetap digulirkan ke pengadilan agar hakim yang memutuskan, apakah layak direhabilitasi atau dipenjara. Kalau para pelaku sudah mengaku membeli 20 butir, dan sisa yang ditemukan hanya tinggal 7 butir, lalu semua positif narkoba, maka itu sudah cukup kuat sebagai bukti, dan tidak boleh dihapus begitu saja. Hitungan barang bukti bukan hanya yang ditemukan, tapi juga yang sudah dikonsumsi.

Profesor Hamzah menilai keputusan BNNP Lampung melepas lima oknum pengurus HIPMI Lampung dari jeratan hukum telah mencederai asas keadilan. Publik bisa menilai ada perlakuan istimewa, bukan sekedar keliru prosedur, tapi bisa menimbulkan kesan hukum hanya tajam ke bawah.

Kritik dan nasehat senada dilontarkan akademisi hukum Universitas Lampung, Dr. Yusdianto, S.H., M.H. yang menilai penanganan BNNP Lampung terhadap kasus oknum HIPMI Lampung tidak transparan dan memperlihatkan diskriminasi. Asesmen tertutup dan penindakan hanya sensasi, sehingga publik menjadi kehilangan kepercayaan.

Menurut Dr. Yusdianto, hal yang jauh lebih penting dari barang bukti adalah bagaimana mengungkap mata rantai peredaran narkoba dan dalang pensuplai narkoba tersebut. Pakar hukum ini juga mempertanyakan efektivitas program pencegahan penggunaan narkoba. Razia tempat hiburan malam wajib dilakukan untuk menekan peredaran narkoba di Lampung.

BNNP harus lebih fokus pada suplay chain disruption, bukan sekedar operasi seremonial dan popularitas lembaga. Dan banyak praktisi hukum lain yang melontarkan kritikan tajam terhadap BNNP Lampung, diantaranya Gunawan Parikesit, S.H., Destra Yudha, S.H., M.H., Maya Rumanti, S.H., M.H., Neni Triani, S.H., Nuryadin, S.H. dan masih banyak yang lain. Sambil menunggu jawaban BNNP Lampung atas tuntutan Aliansi Anti Narkoba Lampung, mari kita berpikir dengan menggunakan logika paling sederhana atas kasus yang membuat suasana gaduh ini.

Jujur, awalnya publik sempat terkagum-kagum dan mengapresiasi atas keberanian BNNP Lampung melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap 10 orang yang sedang pesta narkoba, dimana 5 orang diantaranya merupakan oknum pengurus teras HIPMI Lampung. Tapi dalam waktu hanya sehari, publik dibuat kecewa oleh keputusan BNNP Lampung yang melunakkan perkara dengan melepas tangkapannya untuk direhabilitasi dan rawat jalan.

BNNP menilai, mereka yang mengonsumsi ekstasi hanya sebagai ‘korban’, dan target BNNP adalah mengejar pengedar. Publik menjadi bingung penuh tanya, korban dari siapa? Mereka dengan sengaja datang ke tempat karaoke dan sempat membeli 20 butir dari seseorang bernama Robert, lalu secara bersama-sama dengan wanita PL mengonsumsi ekstasi itu. Jika seseorang sengaja membeli ekstasi dan mengonsumsinya, berarti mereka memang sudah berniat untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, dan tentu tidak dapat dianggap sebagai korban.

Disebut korban apabila seseorang dirayu atau diiming-imingi sehingga terpaksa melakukannya. Terkait dengan barang haram yang dibeli dari seseorang bernama Robert, mestinya ini menjadi petunjuk untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Diyakini, antara pembeli dengan pengedar sudah saling kenal dan memiliki hubungan yang dekat sebelum melakukan transaksi. Dalam transaksi narkoba, kepercayaan dan saling mengenal menjadi kunci penting untuk meminimalkan resiko ditangkap, dan untuk memastikan kelancaran transaksi. Yang namanya transaksi narkoba tentu melibatkan jaringan yang lebih kompleks dan rahasia. Berbeda dengan transaksi barang legal yang dapat dilakukan secara terbuka, bahkan bisa di obral didepan umum.

Maka seharusnya BNNP Lampung tidak buru-buru melepas para pengguna narkoba, guna untuk pengembangan penyelidikan dan penyidikan. Ini bukan hanya soal prosedur, tapi juga soal intergritas penegakan hukum. Bila beberapa waktu lalu penulis sempat meminta agar Kepolisian Daerah (Polda) Lampung mengambil alih kasus ini, bukan tanpa alasan. Selain meragukan kinerja BNNP Lampung, juga untuk mencari kebenaran atas isu dugaan suap agar tidak menjadi liar.

Apalagi pimpinan BNNP Lampung merupakan anggota polisi aktif, jangan sampai ada pihak yang sengaja meniup isu dugaan suap dengan tujuan untuk merusak citra dan nama baik institusi Polri. Polisi memiliki tanggungjawab untuk menegakkan hukum dan menindak pelaku tindak pidana, termasuk oknum BNNP. Polisi juga dapat melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan transparan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam kasus narkoba ditindak secara adil, tanpa membedakan latar belakang atau status sosial. Siapapun mereka, bila dalam mengonsumsi ekstasi dilakukan secara sengaja (seperti yang dilakukan oleh oknum HIPMI Lampung), tentu harus bertanggungjawab atas tindakannya. Dalam kasus ini, polisi perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan apakah para pelaku tersebut benar-benar menjadi korban, atau justru pengedar. Pasal 127 Undang-Undang tentang Narkotika sudah sangat jelas, seseorang yang sengaja mengonsumsi narkotika dapat dijatuhi hukuman penjara atau rehabilitasi.

Dalam Undang-Undang Narkoba di Indonesia, tidak ada batasan jumlah narkoba yang jelas untuk membedakan antara pemakai dan pengedar. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan apakah seseorang merupakan pengedar atau pemakai, antara lain jumlah narkoba yang dimiliki, tujuan kepemilikan dan perilaku seseorang dalam melakukan trasaksi narkoba.

Polemik Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009.

Semangat Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 sangat jelas, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun dalam praktik implementasi di lapangan tidak selalu seragam, bisa menciptakan keuntungan atau kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat. Pasal ini telah memicu berbagai interpretasi dan perdebatan di kalangan penegak hukum dan praktisi. Pasal ini bisa ditafsirkan untuk memihak korban dan pecandu penyalahgunaan narkotika, dengan mengedepankan rehabilitasi.

Para pelaku ditempatkan sebagai orang yang sedang sakit dan perlu diobati atau disembuhkan, bukan dianggap sebagai penjahat yang harus dipenjara. Lalu mereka dikembalikan ke masyarakat dengan dalih untuk memutus mata rantai ketergantungan terhadap narkoba. Namun dalam penegakan hukum seringkali terjadi benturan antara pasal rehabilitasi (Pasal 54) dan pasal-pasal pidana lainnya seperti Pasal 111, 112 atau 127 yang mengatur tentang kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan narkotika. Maka banyak kasus yang melibatkan pecandu berakhir dengan tuntutan dan vonis penjara, bukan rehabilitasi.

Ini terjadi karena interpretasi yang ambigu, norma hukum dianggap kabur dan multi tafsir. Pihak kepolisian dan kejaksaan lebih sering memilih untuk mendakwa pecandu dengan pasal pidana yang lebih berat, terutama jika ditemukan barang bukti, tanpa mempertimbangkan status pecandunya. Ketersediaan tempat rehabilitasi yang terbatas dan biaya yang tinggi (bagi yang tidak mampu) seringkali menjadi kendala.

Hal ini membuat opsi rehabilitasi tidak mudah di akses, sehingga penegak hukum cenderung memilih jalur penjara. Belum ada sinergi yang kuat antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam menerapkan kebijakan rehabilitasi. Lalu, siapa yang diuntungkan dari multi tafsir ini? Jawabnya, pecandu dan pengedar yang diuntungkan. Pecandu yang didampingi oleh pengacara yang cakap, memiliki bukti medis yang kuat dan menjalani proses hukum di pengadilan yang benar-benar menerapkan SEMA dan semangat rehabilitasi, mereka akan mendapatkan putusan rehabilitasi dan terhindar dari hukuman penjara. Pengedar narkoba juga diuntungkan.

Dalam beberapa kasus, pengedar bisa berpura-pura menjadi pecandu untuk menghindari hukuman berat. Hal ini menjadi celah hukum yang sangat merugikan upaya pemberantasan peredaran gelap narkotika. Selain pecandu dan pengedar, Aparat Penegak Hukum (APH) juga diuntungkan (dalam konteks tertentu). Adanya ketidakjelasan norma bisa memberikan ruang bagi APH untuk membuat diskredit yang dapat merusak kredibilitas maupun kepercayaan.

Hal ini disatu sisi bisa menjadi positif, namun disisi lain bisa disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks penanganan kasus narkoba yang melibatkan oknum HIPMI Lampung, BNNP Lampung sudah banyak menerima masukan dari banyak pihak, khususnya dari para pakar hukum yang benar-benar mengerti tentang hukum. Apakah BNNP Lampung akan meninjau kembali keputusan yang telah dibuat, atau tetap bersikukuh dengan keputusannya. Mari kita tunggu Bersama.

*) Pengamat kebijakan publik dari PUSKAP (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Wilayah Lampung.

Pos terkait