Warga Kecam OPAL di Masjid Al – Ikhsan Labuhan Ratu, PLN UID Way Halim Diduga Langgar Aturan
Bongkar Post, Bandar Lampung
Warga Komplek di Labuhan Ratu, Kedaton, Bandar Lampung, menyesalkan tindakan PLN UID Way Halim yang melakukan operasi pemutusan aliran listrik (opal) di Masjid Al-Ikhsan.
Tindakan itu dilakukan tanpa pemberitahuan dan dinilai tidak beradab karena menyasar rumah ibadah.
Redo, salah seorang warga sekitar, mengungkapkan kekecewaannya. Ia menilai sikap PLN jauh dari prosedur dan etika.
“Tidak ada adab, dibilang P3 lah, kalau kita di genaga kerja itu kan kalau nggak ada dipatret, Bipatret, SP-1 atau 2, ini langsung putus aja, Meskipun itu kan di Keppres, itu kan jelas gitu, apalagi ini rumah ibadah,” kata Redo, kepada media ini, Senin (25/8/2025).
Menurutnya, rumah ibadah memiliki kekhususan yang tidak bisa disamakan dengan bangunan lain.
Baginya, tindakan PLN yang langsung melakukan pemutusan tanpa musyawarah adalah bentuk arogansi.
“Kalau sudah menyangkut lex spesialis rumah ibadah, itu seharusnya dimusyawarahkan dulu segala sesuatunya. Karena rumah ibadah itu tidak ada yang punya, itu rumah Tuhan, rumah Allah. Contoh kasus seperti ini sebenarnya sudah ada. Jadi masalah ini lebih ke soal adab untuk PLN,” ujarnya dengan nada geram.
Redo menjelaskan, peristiwa opal itu terjadi pada Rabu, 19 Agustus 2025, oleh tim PLN UID Way Halim. Ia menilai langkah itu gegabah dan tidak menghormati keberadaan masjid.
“Jelas sekali, kalau rumah ibadah itu tidak bisa ada tawar-menawar. Harapan kami sederhana, semua harus dengan adab. Kalau masuk ke lingkungan orang, ya harus pakai adab. Ini kan masjid, seharusnya minimal bertanya dulu ke RT, kepala lingkungan, atau lurah,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menilai PLN memperlihatkan sikap sewenang-wenang. Menurutnya, rumah ibadah adalah ruang sakral umat, bukan sekadar bangunan yang bisa diputus alirannya begitu saja.
“Ini ada perihal opal, jangan semua semaunya gitu, bukan menelaah dulu sebelum ada tindakan opal, kan ada saksi netral. Kalau bahasa mereka polisi yang mendampingi itu saksi netral,” kata Redo.
Ia menegaskan, kehadiran Polisi sekalipun tidak cukup jika tidak ada mekanisme hukum yang jelas.
“Cuma dalam perihal BKO itu, tidak ada BKO dari lembaga ke lembaga, jadi tidak bisa disebut sebagai saksi netral. Di BKO itu, posisinya justru untuk membantu lembaga yang menggaji Masjid Al-Ihsan,” tegasnya.
Redo menuding PLN gagal memahami konteks sosial dan spiritual dalam kasus ini. Ia bahkan menyebut tindakan PLN sebagai pelecehan terhadap simbol agama.
“Ini bukan cuma masalah teknis listrik, ini masalah penghormatan. Masjid itu rumah Allah, bukan rumah pribadi. Kalau PLN datang tanpa adab, tanpa izin, itu sama saja menodai kesucian tempat ibadah,” kritiknya tajam.
Langgar Aturan
Tindakan PLN tersebut patut dipertanyakan dari sisi regulasi. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PLN memang berhak melakukan pemutusan apabila pelanggan tidak memenuhi kewajiban pembayaran.
Namun, aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2017, mewajibkan adanya pemberitahuan resmi kepada pelanggan sebelum pemutusan dilakukan.
Selain itu, dalam SK Direksi PLN No. 0882.K/DIR/2019 tentang Tata Cara Pemutusan dan Penyambungan Kembali Tenaga Listrik, disebutkan bahwa pemutusan terhadap fasilitas publik seperti rumah ibadah harus dikoordinasikan dengan aparat setempat.
Fakta bahwa opal di Masjid Al-Ikhsan dilakukan tanpa pemberitahuan dan tanpa koordinasi memunculkan dugaan adanya pelanggaran terhadap regulasi tersebut.
Redo menegaskan, kasus ini tidak bisa dianggap remeh.
“Kalau PLN berani seenaknya memutus listrik di masjid tanpa adab dan tanpa aturan, apa jaminannya mereka tidak akan melakukan hal yang sama di gereja, pura, vihara, atau rumah ibadah lain? Ini bahaya, karena menyangkut rasa hormat kita terhadap semua agama,” ujarnya.
Ia meminta pemerintah dan aparat hukum turun tangan.
“PLN harus dipanggil, ditanya pertanggungjawabannya. Jangan sampai masyarakat merasa rumah ibadah diperlakukan seperti kios atau warung. Ini preseden buruk, harus dihentikan,” tegas Redo. (Jim)







