Opini
Penyalahguna Narkoba : Antara Penjara atau Rehabilitasi
Oleh: Gunawan Handoko *)
Mengkonsumsi Narkoba merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi hukum seperti pidana penjara karena sangat membahayakan masyarakat. Menegakkan hukum terhadap pengkonsumsi narkoba penting untuk dilakukan, terlebih jika pelakunya adalah orang-orang terdidik dan paham tentang hukum.
Dengan penegakan hukum yang tegas dan tidak tebang pilih dapat membantu mencegah penggunaan narkoba di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda. Maka kerjasama antara pemerintah, organisasi dan masyarakat sangat penting dalam memerangi narkoba, untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari narkoba.
Masyarakat memiliki harapan yang tinggi terhadap para pengurus HIPMI untuk menunjukkan moral dan integritas yang baik serta tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum, terutama terkait dengan narkotika. Maka komitmen organisasi HIPMI dalam pemberantasan narkoba sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, mencegah penggunaan narkoba dan menunjukkan akuntabilitas dalam menangani masalah narkoba.
Maka sudah seharusnya individu-individu yang terlibat dalam kasus narkoba bertanggungjawab atas tindakan mereka dan menghadapi konsekuensi hukum yang ada. Hasil tes urine atau pemeriksaan lainnya yang menunjukkan bahwa 10 orang positif amphetamine dan methamphetamine dapat digunakan sebagai bukti tambahan dalam proses penyidikan.
Saya setuju dengan program BNN untuk merehabilitasi, tapi proses hukum harus tetap dilakukan. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Pasal 54 tentang Narkotika masih berpolemik, antara penjara atau rehabilitasi. Nyatanya praktik implementasi di lapangan tidak seragam, dimana pihak-pihak yang terlibat ada yang diuntungkan dan banyak pula yang dirugikan. Jika BNN mengedepankan rehabilitasi, berarti UU ini akan sangat menguntungkan para pecandu sebagai orang yang sedang sakit dan perlu disembuhkan.
Artinya, para pelaku bukan sebagai penjahat yang harus dipenjara. Tapi dalam praktiknya, banyak kasus yang melibatkan pecandu berakhir dengan tuntutan dan vonis penjara, bukan rehabilitasi. Ini bisa terjadi karena interpretasi yang ambigu, dimana norma hukum dianggap kabur dan multi tafsir. Aparat Penegak Hukum, kepolisian maupun kejaksaan sering memilih untuk mendakwa pelaku dengan pasal pidana yang lebih berat, terutama jika ditemukan barang bukti. Kepolisian dan Kejaksaan cenderung memilih jalur penjara, karena ketersediaan tempat rehabilitasi terbatas dan membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga bagi pelaku yang tidak mampu tentu menjadi kendala. Sampai saat ini belum ada sinergi yang kuat antara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam menerapkan kebijakan rehabilitasi. Walaupun Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran (SEMA) sebagai pedoman, tapi dalam praktiknya SEMA tersebut tidak selalu menjadi acuan di tingkat penyelidikan dan penyidikan.
Akibat adanya multi tafsir ini justru bisa dimanfaatkan oleh pengedar dengan berpura-pura menjadi pecandu untuk menghindari hukuman penjara. Hal ini menjadi celah hukum yang sangat merugikan upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba. Nah, untuk menetapkan apakah seseorang hanya sebagai pecandu atau pengedar, tentu butuh waktu untuk penyelidikan dan penyidikan, tidak bisa ujug-ujug dan langsung menetapkan bahwa si A sebagai pengedarnya.
Maka proses hukum terhadap para pelaku tetap harus dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk penyelidikan, penuntutan dan persidangan. Biarlah Pengadilan yang memutuskan, apakah pelaku harus menjalani rehabilitasi atau penjara. Apalagi kasus ini sudah menjadi sorotan publik, jangan sampai lembaga BNN ikut menjadi sorotan.
*) Pengamat kebijakan publik PUSKAP (Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan) Wilayah Lampung.
*) Mantan Pengurus KOMNAS Perlindungan Anak Provinsi Lampung.







